Tentang Hadits




TANYA:
Bagaimana kita mengenali seorang shahabat?

JAWAB:

Kita mengenalinya melalui salah satu dari hal-hal berikut:
1. Tawaatur (Pemberitaan tentangnya secara mutawatir alias mustahil terjadi kebohongan karena banyaknya periwayat terpercaya menyatakan hal itu); apakah ada orang yang meragukan Abu Bakar dan ‘Umar bin al-Khaththab RA sebagai shahabat? Jawabannya, tentu, tidak.!

2. Syuhrah (Ketenaran) dan banyaknya riwayat yang mengisahkannya melalui beberapa hal. Contohnya:
a. Dhimaam bin Tsa’lbah RA yang tenar dengan hadits kedatangannya menemui Nabi SAW
b. ‘Ukasyah bin Mihshan RA yang kisahnya dijadikan permisalan/pepatah (yaitu ucapan Rasulullah SAW, “Sabaqoka ‘Ukaasyah’ ; ‘Ukasyah sudah terlebih dulu darimu-red).*

3. Dimuatnya hal itu dalam hadits yang shahih, seperti ada salah satu hadits menyebutkan bahwa Nabi SAW didatangi oleh si fulan bin fulan atau hadits tersebut bersambung sanadnya kepada seorang laki-laki yang menginformasikan bahwa si fulan termasuk orang-orang yang mati syahid dalam perang bersama Rasulullah SAW. Atau informasi apa saja dengan cara tertentu bahwa orang ini atau itu sudah terbukti Shuhbah-nya (bertemu dan beriman dengan Rasulullah SAW dan mati dalam kondisi itu).

4. Penuturan tertulis dari seorang Tabi’i (generasi setelah shahabat) bahwa si fulan adalah seorang shahabat. Yaitu seperti ia mengucapkan, “Aku mendengar salah seorang shahabat Nabi SAW, yaitu si fulan bin fulan.”

5. Penuturan shahabat itu sendiri bahwa ia bertemu Nabi SAW, seperti perkataannya, “Aku mendengar Nabi SAW bersabda begini dan begitu.” Atau “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menemani (bershahabat) dengan Nabi SAW.” Tetapi hal ini perlu beberapa syarat, di antaranya:
a. Ia seorang yang adil pada dirinya
b. Klaimnya tersebut memungkinkan; bila kejadian ia mengklaim hal itu sebelum tahun 110 H maka ini memungkinkan sedangkan bila ia mengklaimnya setelah tahun 110 H, maka klaimnya tersebut tertolak sebab Nabi SAW telah menginformasikan di akhir hayatnya, “Tidakkah aku melihat kalian pada malam ini? Sesungguhnya di atas 100 tahun kemudian (dari malam ini), tidak ada lagi seorang pun yang tersisa di atas muka bumi ini.” (HR.al-Bukhari, I:211, No.116; Muslim, No.2537; Abu Daud, No.348)

Ini merupakan argumentasi paling kuat terhadap orang yang mengklaim nabi Khidhir masih hidup hingga saat ini segaimana klaim kaum Sufi di mana salah satu dari mereka sering mengaku telah bertemu nabi Khidhir dan berbicara secara lisan dengannya.!?

Intermezzo

Seorang laki-laki India bernama Rotan pada abad VI mengaku bahwa dirinya adalah shahabat Nabi SAW dan dia telah dipanjangkan umurnya hingga tanggal tersebut. Kejadian itu sempat menggemparkan masyarakat kala itu. Maka, para ulama pada masanya atau pun setelahnya membantah pengakuannya tersebut. Di antaranya, al-Hafizh adz-Dzahabi dalam bukunya yang berjudul “Kasr Watsan Rotan.”

* Pepatah tersebut diungkapkan orang Arab untuk menyatakan ketidak beruntungann seseorang dalam memperoleh sesuatu karena sudah ada orang lain yang lebih dahulu memperolehnya. Seperti misalnya, bila ada seseorang memberikan hadiah kepada seseorang yang bisa menjawab pertanyaannya, lalu ada yang menjawabnya sedangkan hadiah itu hanya untuk satu orang saja. Kemudian ada orang lain meminta diberi pertanyaan lagi agar dapat menjawabnya dan memperoleh hadiah. Maka orang yang memberikan itu tadi, mengatakan kepadanya pepatah tersebut. Artinya, terlambat, si fulan sudah terlebih dahulu (kamu sudah keduluan sama si fulan.!!), wallahu a’lam-red

(SUMBER: Fataawa Hadiitsiyyah, Syaikh Sa’d bin ‘Abdullah Alu Humaid, hal.30-31)


Kitab Bid'ah (Sekedar wawasan, bukan untuk dijadikan saling mencerca)

Muqadimah
Imam Syafii rahimhullahu berkata, “Sesungguhnya kelalaian dan kesalahan hanya ada pada kelompok-kelompok (perpecahan) adapun Al-Jama’ah maka tidak mungkin terdapat kelalaian dari makna al-kitab dan as-sunnah, juga dalam qiyas, insya Allah Ta’ala”.
Akan tetapi mereka perlu membela diri sebagaimana orang yang tenggelam akan memegang apa saja walau sehelai rumput demi menyelamatkan dirinya. Mereka ambil saja perkataan dari Syaikh Muhammad Abdurrahman al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi (4/393) untuk mencari pembenaran bagi kesalahan, bid’ah dan kesesatan mereka dengan alasan ‘ijtihad imam’. Syaikh Al-Mubarakfuri berkata :
تجب بل يحرم إذ لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق . وفيه أنّ الإمام إذا أمر بمندوب أو مباح وجب.
Artinya : “Haram dan wajib tidak ta’at kepada mahluk dalam ma’shiat kepada Khaliq. Dan bahwa sesungguhnya imam ketika perintah dengan mandub atau mubah , maka wajib (taat kepadanya)”.
Padahal yang dimaksud wajibnya taat dalam perkara mandub dan mubah oleh Syaikh rahimahullahu, sebab tidak ada pada keduanya (mandub dan mubah) dosa (ma’shiat). Adapun bid’ah adalah dolalah (sesat), dan tiap dolalah itu di neraka.
Bukankah mereka mengetahui makna bid’ah dari perkataan Asy-Syathibi (w. 790 H) dalam Al-I’tishom : “Bid’ah adalah cara baru dalam agama yang dibuat menyerupai syari’at dengan maksud untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah ”. Beliau juga berkata : “Bid’ah adalah satu cara dalam agama ini yang dibuat-buat, bentuknya menyerupai ajaran syari’at yang ada, tujuan dilaksanakannya adalah sebagaimana tujuan syari’at ”.
Ulil amri tidak ada padanya hak untuk menentukan halal, haram, dan syari’at lain dari din ini, baik itu dengan ‘hak ijtihad mereka’ atau tidak. Bukankah imam mereka ber-’ijtihad’ untuk sesuatu yang baru yang tujuannya untuk ibadah kepada Allah?, maka itulah bid’ah seperti definisinya Asy-Syathibi.
Syaikh Ali Hasan Al-Halabi berkata : “Atas dasar ini maka sesungguhnya penghalalan dan pengharaman, penentuan syari’at, bentuk-bentuk ibadah dan penjelasan jumlah, cara dan waktu-waktunya, serta meletakkan kaidah-kaidah umum dalam muamalah adalah hanya hak Allah dan Rasul-Nya dan tidak ada hak bagi ulil amri di dalamnya. Sedangkan kita dan mereka dalam hal tersebut adalah sama. Maka kita tidak boleh merujuk kepada mereka jika terjadi perselisihan. Tetapi kita harus mengembalikan semua itu kepada Allah dan Rasul-Nya”.
Berdoa Diantara Dua Khutbah

Berdoa apalagi sambil mengangkat dua tangannya ketika duduk diantara dua khutbah shalat jum’at tidak ada dalilnya. Tetapi sebagian saudara kita berdalil dengan hadits dari Abu Burdah dari ayahnya (Abu Musa Al-Asy’ari) radhiyallahu’anhu yang pernah bertanya tentang waktu yang mustajab dihari jum’at, ia berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam bersabda,
هِيَ مَا بَيْنَ أَنْ يَجْلِسَ الْإِمَامُ إِلَى أَنْ تُقْضَى الصَّلَاةُ
Artinya : “Waktunya adalah antara imam duduk (diatas mimbar) sampai selesai sholat”.
Mereka berdalil dengan hadits ini untuk mensyari’atkan doa diantara dua khutbah, padahal tidak tepat menggunakan dalil ini, dilihat dari beberapa segi :
Pertama, Hadits ini mauquf, dan memarfukannya dho’if. Hadits ini bertentangan dengan hadits shahih yang menyebutkan bahwa waktunya adalah setelah shalat ashar sampai tenggelam matahari yakni khusus bagi orang yang menunggu shalat, diriwayatkan oleh beberapa sahabat.
Benar, hadits diatas diriwayatkan oleh Muslim (no. 853), akan tetapi hal itu bukan ukuran keshahihan secara mutlak.
Berkata Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Bulughul Marom, “Diriwayatkan oleh Muslim, Ad-Daruquthni merojihkan bahwa (yang benar) ini dari perkataan Abu Burdah”.
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Abu Dawud no. 1049, Imam Al-Albani berkata, “Dha’if yang mahfuzh adalah mauquf”. (Shahih Abu Dawud), Ia dianggap cacat karena mauquf dan semua hadits dalam bab ini menyelisihinya. Diantaranya hadits riwayat :
[1]. Anas radhiyallahu’anhu, oleh Tirmidzi (no. 489) didalamnya dsebutkan :
… بَعْدَ الْعَصْرِ إِلَى غَيْبُوبَةِ الشَّمْسِ
“…(waktunya) setelah ashar sampai tergelincirnya matahari”.
Tirmidzi kemudian mengutip perkataan Imam Ahmad :
أَكْثَرُ الْأَحَادِيثِ فِي السَّاعَةِ الَّتِي تُرْجَى فِيهَا إِجَابَةُ الدَّعْوَةِ أَنَّهَا بَعْدَ صَلَاةِ الْعَصْرِ وَتُرْجَى بَعْدَ زَوَالِ الشَّمْسِ
Artinya : “Kebanyakan hadits mengenai saat yang diijabah padanya doa adalah setelah ashar dan diharapkan setelah tergelincirnya matahari”.
[2]. Abu Hurairah radhiyallahu’anhu (dan [3]. Abu Said Al-Khudri’i radhiyallahu ’anhu), riwayat Bukhari (no. 935), sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam menyebutkan hari jum’at. Beliau bersabda,
فِيهِ سَاعَةٌ لَا يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ وَهُوَ يُصَلِّي يَسْأَلُ اللَّهَ شَيْئًا إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ
Artinya : “Padanya ada suatu waktu yang tidaklah bertepatan dengan seorang hamba muslim dan dia sedang sholat memohon kepada Allah Azza wa Jalla sesuatu, kecuali Allah akan berikan kepadanya”,
Dan beliau berisyarat dengan tangannya untuk menunjukan bahwa waktunya sebentar”.
Dalam riwayat Muslim (no. 852) : “Dan waktunya sebentar”.
Dalam riwayat Ahmad (2/272), ‘Dan (waktunya) setelah ashar”.
Al-Albani berkata, “Rijal Ahmad tsiqah selain Muhammad ibn Salamah Al-Anshori, aku tidak mengenalnya” (Al-Misykah no. 1357).
[4]. Abdullah ibn Salam radhiyallahu’anhu, yang diriwayatkan oleh Malik dalam Al-Muwatho (1/327) no. 222, Abu Dawud (no. 1046), Nasai (no. 1430), Tirmidzi (no. 453), Albani berkata, “Shahih”, lihat Al-Misykah (no. 1359).
فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَلَامٍ قَدْ عَلِمْتُ أَيَّةَ سَاعَةٍ هِيَ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ فَقُلْتُ لَهُ فَأَخْبِرْنِي بِهَا فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَلَامٍ هِيَ آخِرُ سَاعَةٍ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَقُلْتُ كَيْفَ هِيَ آخِرُ سَاعَةٍ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُصَادِفُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ وَهُوَ يُصَلِّي وَتِلْكَ السَّاعَةُ لَا يُصَلِّي فِيهَا فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَلَامٍ أَلَمْ يَقُلْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ جَلَسَ مَجْلِسًا يَنْتَظِرُ الصَّلَاةَ فَهُوَ فِي صَلَاةٍ حَتَّى يُصَلِّيَ قَالَ فَقُلْتُ بَلَى قَالَ هُوَ ذَاكَ.
Berkata Abdullah ibn Salam, “Sungguh aku tahu kapan waktunya”, berkata Abu Hurairah, “Kabarkanlah kepadaku”, beliau berkata, “Waktunya diakhir hari jum’at”. Berkata Abu Hurairah, “Dan bagaimana waktunya diakhir hari jum’at sedangkan bersabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam bahwa ‘Tidak lah bertepatan dengan seorang hamba muslim dan dia sedang sholat”, padahal diwaktu itu tidak ada shalat?”. Berkata Abdullah ibn Salam, “Apakah tidak tahu bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam bersabda, “Barangsiapa yang tetap duduk dimajelis (setelah shalat) sambil menunggu shalat (berikutnya), maka dia didalam shalat sehingga shalat”. Berkata Abu Hurairah padanya, “Benar”. Abdullah ibn Salam berkata, “Maka demikianlah yang dimaksud”.
Ibn Majah (no. 1139) meriwayatkan dari Abdullah ibn Salam dialognya dengan Nabi shallallahu’alaihi wasalam mengenai hadits ini semisal hadits diatas dengan sanad yang shahih.
[5]. Jabir radhiyallahu’anhu, oleh Abu Dawud (no. 1048) dan Nasai (no. 1389), dishahihkan oleh Al-Albani, didalamnya disebutkan:
… آخِرَ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ
Artinya : “…(Waktunya) akhir hari setelah ashar”.
Kedua, kalaupun shahih dalam hadits (Abu Burdah dari ayahnya) diatas tidak ada indikasi bahwa waktunya mesti diantara dua khutbah, bahkan hadits itu membantahnya sebab mestilah orang itu berdoa ketika sedang shalat. Sebagaimana pertanyaan Abu Hurairah pada Abdullah ibn Salam, “Bukankah bersabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam bahwa ‘Tidak lah bertepatan dengan seorang hamba muslim sedang dia sedang sholat”, padahal diwaktu itu tidak ada shalat?”.
Jadi kalaupun hadits ini digunakan (shahih) maka yang benar adalah berdoa ketika shalat jum’at, seseorang bisa berdoa saat sujud atau tasyahud akhir yang berdoa pada waktu-waktu itu disyari’atkan.
Sedangkan hadits yang shahih yang menyebutkan bahwa waktunya setelah shalat ashar bagi orang yang menunggu shalat, tidaklah bertentangan, Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam bersabda, “Barangsiapa yang duduk dimajelis sambil menunggu shalat, maka dia didalam shalat sehingga shalat”.
Mungkin orang-orang itu juga membantah bahwa khutbah jum’at juga sedang menunggu shalat, jadi termasuk dalam shalat. Kami katakan : “Tidak”, bahkan dalam hadits-hadits disebutkan bahwa dalam khutbah yang harus dilakukan adalah mendengarkan kutbah, memahami dan merenunginya bahkan jika berkata kepada temannya, ‘Diamlah!” termasuk dalam menyia-nyiakan ibadah jum’atnya. Padahal perkataan ‘Diamlah!” termasuk amar ma’ruf nahi mungkar.
Ketiga, Perkara ini bertentangan dengan amalan Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam, sebagaimana disaksikan oleh para sahabat bahwa beliau diam tidak berbicara sedikitpun saat duduk diantara dua khutbah.
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ : رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ قَائِمًا ثُمَّ يَقْعُدُ قِعْدَةً لَا يَتَكَلَّمُ ثُمَّ يَقُومُ فَيَخْطُبُ خُطْبَةً أُخْرَى…
Dari Jabir ibn Samurah yang berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam khutbah pada hari jum’at dalam keadaan berdiri kemudian duduk sejenak tanpa bicara, lalu berdiri lagi untuk menyampaikan khutbah yang terakhir…”
Hadits ini diriwayatkan oleh Nasai (no. 1417) ini lafazhnya, Abu Dawud (no. 1095) dan lainnya, lihat Al-Misykah (no. 1415). Hadits ini memiliki pendukung dari hadits Ibn Umar oleh Abu Dawud (no. 1092), lihat pula Al-Irwa (no. 604).
Dalam salah satu riwayatnya, Jabir ibn Samurah berkata :
وَاللَّهِ صَلَّيْتُ مَعَهُ أَكْثَرَ مِنْ أَلْفَيْ صَلَاةٍ
Artinya : “Demi Allah sesungguhnya aku shalat bersama beliau shallallahu’alaihi wasalam lebih dari seribu kali shalat”.
Maksudnya penjelasan bahwa beliau sangat lama bersama Nabi shallallahu’alaihi wasalam, sehingga tidak ada lagi keragu-raguan dari cara ibadah beliau yang benar.
Gurunya Syaikh Abdul Dhahir Abu Syamah yaitu Syaikh Muhammad Rasyid Ridha rahimahullahu berkata,
“Hendaknya setiap orang tidak mengangkat kedua tangannya, karena bisa dianggap sebagai syi’ar jum’at yang sebenarnya tidak ada petunjuknya dari sunnah Nabi. Bahkan perbuatan seperti ini dianggap bertentangan dengan sunnah. Sebab ketika imam telah berdiri dan memulai khutbah keduanya, mereka masih saja sibuk dengan bacaan doanya masing-masing. Oleh karena itulah lebih baik mereka diam dan merenungkan isi khutbah yang disampaikan imam serta berfikir dan merenungkan maknanya ketika istirahat (duduk diantara dua khutbah). Sedangkan hukum perbuatan mereka yang terringan dianggap sebagai bid’ah yang makruh” [Fatawa Rasyid Ridha (1/58)].
Semoga Allah Ta’ala memberi kita petunjuk.

Khutbah Ied Dengan Dua Kali Khutbah,
Diantara Keduanya Dipisahkan Dengan Duduk

Tidak ada dalil tentang masalah ini kecuali hadits yang dikeluarkan Al-Bazzar, beliau berkata :
حدثنا عبد الله بن شبيب ، قال : نا أحمد بن محمد بن عبد العزيز ، قال : وجدت في كتاب أبي قال : حدثني مهاجر بن مسمار ، عن عامر بن سعد ، عن أبيه ، أن النبي صلى الله عليه وسلم : صلى العيد بغير أذان ولا إقامة وكان يخطب خطبتين قائما يفصل بينهما بجلسة
وهذا الحديث لا نعلمه يروى عن سعد ، إلا من هذا الوجه بهذا الإسناد
Artinya : “Menceritakan kepada kami Abdullah ibn Syabib, dia berkata: mengkhabarkan kepada kami Ahmad ibn Muhammad ibn Abdul Aziz, dia berkata: membaca (wajadah) didalam kitab bapakku, beliau berkata: menceritakan kepada kami Muhajir ibn Masamar dari Amar ibn Sa’ad dari Bapaknya (Sa’ad radhiyallahu’anhu), sesungguhnya Nabi shallallahu’alaihi wasalam shalat ied dengan tanpa adzan dan tanpa iqamat dan biasa berkhutbah dua kali, diantara keduanya dipisahkan dengan duduk”.
[Kemudian Al-Bazzar berkata:] “Dan hadits ini tidak diketahui dikeluarkan dari Saad kecuali melalui riwayat ini dengan isnad ini pula”.
Tetapi hadits ini dha’if jiddan (lemah sekali) lagi mungkar. Dikeluarkan oleh Al-Bazzar dalam Musnad pada bab: ومما روى مهاجر بن مسمار عن عامر بن سعد عن أبيه سعد no. 1116 (no. 53 – Musnad Sa’ad), atau dalam Bahrul Zakhr (3/355) no. 998.
Hadits ini didalam sanadnya terdapat Abdullah ibn Syabib ibn Khalid, syaikhnya Al-Bazzar, dia ini haditsnya mungkar. Ibnu Hibban menyebutkannya dalam Al-Majruhin min Al-Muhaditsin wa Dhu’afa wal Matrukin jilid 2 biografi no. 581, Ibn Abi Hatim dalam Jarh wa Ta’dil jilid 5 h. 83-84 biografi no. 387, Ibnu Adi dalam Al-Kamil fi Adh-Dhu’afa jilid 4 biografi no. 1099, Al-Khattib Al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad jilid 9 biografi no. 5106 dan Ibnu Hajar dalam Lisan Al-Mizan jilid 3 biografi no. 1245.
Abi Hatim tidak menyebutkan jarh dan ta’dil baginya. Bukhari menganggap haditsnya mungkar. Disebutkan oleh Al-Khatib bahwa Abu Ali Al-Hafizh meriwayatkan bahwa Abu Bakar Muhammad ibn Ishaq, yakni Ibnu Khuzaimah mula-mula menulis dari Abdullah ibn Syabib kemudian tidak meriwayatkan darinya sedikit pun.
Anehnya, sebagian saudara kita yang mengamalkan hadits ini telah mewajibkan ‘sema’ (mendengar) ketika mendapatkan hadits (mereka menyebutnya mangkul), akan tetapi ternyata mereka tidak konsisten dengan prinsipnya sebab hadits ini terbukti didapat secara wijadah (membaca kitab) oleh seorang rawinya (Ahmad ibn Muhammad ibn Abdul Aziz), namun mereka tetap saja mengamalkannya. Ini namanya berdalil dengan sekehendak hatinya, dan agama kita tidak dibangun dengan itu.
Diamalkannya dua khutbahan ied ini di mesjid-mesjid besar dan terkenal tidak menjadikan amalan ini sunnah sama sekali kalau tidak ada dalil yang kuat dalam masalah ini, bahkan seharusnya seseorang itu harus ruju kepada kebenaran, sehingga orang awam tidak tertipu dan menyangka bahwa amalan ini benar-benar sunnah. Apalagi Syaikh-Syaikh ahli hadits telah mengingatkan masalah ini berkali-kali semisal Syaikh Al-Albani, Ali Al-Halabi dan lainnya.

Shalat Sunnah Dua Rakaat
Selepas Adzan Pertama Dalam Shalat Jum’at

Kemudian tentang shalat sunnah dua rakaat selepas adzan pertama dalam shalat jum’at, dimana orang-orang biasanya serempak berdiri untuk shalat dua rakaat yang bukan shalat tahiyatul mesjid, yang ini pun bid’ah. Bagaimana shalat ini disyari’atkan padahal dizaman Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam adzan hanya satu kali, yaitu ketika imam hendak berkhutbah?. Adzan dua kali hanya terjadi dizaman Utsman ibn ‘Affan radhiyallahu’anhu. [Lihat selengkapnya Imam Al-Albani dalam Al-Ajwibah an-Naafi’ah’an Asaalah Lajnah Masjidil Jaami’ah hal 23].
Mereka berdalil dengan hadits,
بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ
Artinya : “Diantara dua adzan ada shalat”,
Diriwayatkan oleh Ahmad (5/54) no. 20563, Bukhari (1/225) no. 598, Muslim (1/573) no. 838, Tirmidzi (1/351) no. 185, Abu Dawud (1/26) no. 1283, Nasai (2/28) no. 681, Ibn Majah (1/368) no. 1162, Ibn Abi Syaibah (2/136) no. 7383 dan Ad-Daruquthni (1/266) dari Abdullah ibn Buraidah dari Abdullah ibn Mughafal.
Hadits ini tidak dapat digunakan secara mutlak seperti itu, lagi pula maksud dua adzan dalam hadits tersebut adalah antara adzan dan iqomat.
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam syarahnya terhadap Bukhari (Fathul Baari) berkata, “Telah biasa dilakukan oleh pensyarah hadits bahwa kalimat tersebut termasuk ke dalam katagori taghlib (mengungkapkan dua makna yang berbeda dengan satu lafazh) seperti ungkapan orang Arab al-Qamarain (dua buah bulan) yang maknanya bulan dan matahari. Atau bisa pula sengaja mengungkapkan iqamat dengan adzan karena sesungguhnya iqamat pada dasarnya adalah memberi tahu bahwa shalat akan dilaksanakan, sebagaimana adzan maknanya adalah memberi tahu bahwa waktu shalat telah tiba”.
Jadi, bukan antara adzan pertama dan adzan kedua dalam shalat jum’at yang sekarang ini biasa diamalkan, bahkan tidak ada dua adzan dizaman Nabi shallallahu’alaihi wasalam, yang ada adalah adzan ketika khatib naik mimbar dan iqomah.
Jadi, membiasakan diri shalat dua rakaat diantara adzan pertama dan kedua adalah bid’ah. Yang lebih mengherankan justru mereka menganggap orang yang enggan shalat diwaktu itu adalah orang yang menyelisihi sunnah atau malas, semuanya serba terbalik.

Perkara imsak

Misalkan dalam perkara imsak yang biasa diteriakkan dari corong-corong masjid atau dengan serine inipun bid’ah, tidak ada dalilnya. Bahkan bertentangan dengan hadits,
عَنْ عَائِشَةَ - رضى الله عنها - أَنَّ بِلاَلاً كَانَ يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ ، فَإِنَّهُ لاَ يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
Artinya : Dari Aisyah radhiyallahu’anha, Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan di malam hari, maka bersabdalah Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam, “Makan dan minumlah sampai Ibnu Umi Maktum mengumandangkan adzan, karena dia tidak beradzan kecuali ketika fajar sudah terbit”.
Dikeluarkan oleh Bukhari (Kitab Shaum no. 1918), dan Muslim menerangkannya dengan menulis Bab: “Keterangan bahwa masuknya waktu puasa ditandai dengan terbit fajar …” no. 1092.
Jadi, puasa dimulai ketika terbit fajar yaitu adzan kedua dari shubuh bukan ketika imsak. Jika imsak dianggap kehati-hatian seperti yang diduga sebagian orang yang bodoh, maka yang demikian harus diingatkan sabda Nabi shallallahu’alaihiwasalam, ‘“Barangsiapa berbuat [melakukan suatu perbuatan] yang tidak ada ajarannya dari kami maka [perbuatan] itu tertolak [tidak diterima oleh Allah]”. (Bukhari no. 2697, Muslim no. 1718, dan lain-lain dari Aisyah radhiyallahu’anha).

Mencukupkan Diri Dengan Membaca
‘Allahuma Sholi ‘Ala Muhammad Wa ‘Ala Ali Muhammad”

Diantara perkara yang harus diperbaiki adalah mencukupkan diri dengan membaca ‘Allahuma sholi ‘ala muhammad wa ‘ala ali muhammad” pada tasyahud awal, ini tidak ada dalilnya bahkan dia harus membaca salah satu diantara beberapa lafazh shalawat yang shahih dari beliau shallallahu’alaihi wasalam secara lengkap.
Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shifat Shalat Nabi shallallahu’alaihi wasalam hal. 211-212 berkata, “Oleh karena itu tidak sesuai sunnah dan perintah Nabi shallallahu’alaihi wasalam jika orang membaca shalawat hanya dengan mengucapkan : “allahuma shali ala muhammad”. Akan tetapi ia haruslah membaca shalawat dengan mengambil salah satu dari kalimat shalawat yang penuh dan lengkap seperti yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasalam. Bacaan shalawat ini tidaklah ada bedanya dibaca pada tasyahud awal atau akhir.
Demikianlah penjelasan Imam Syafii dalam kitab Al-Umm (1/102), ujarnya, “Bacaan shalawat pada tasyahud awal dan tasyahud kedua sama, tidak ada perbedaannya. Yang saya maksud dengan tasyahud disini adalah bacaan tasyahud dan shalawat Nabi. Tasyahud yang tidak dibaca shalawat didalamnya tidaklah sempurna, sebaliknya tasyahud yang disertai shalawat itu sempurna”. Adapun hadits yang berbunyi :
كان لا يزيد في الركعتين على التشهد
Artinya : “Nabi shallallahu’alaihi wasalam tidak pernah membaca lebih dari tasyahud ketika duduk dalam dua rakaat (tasyahud awal)”, adalah hadits mungkar, sebagaimana saya jelaskan hasil penelitiannya dalam kitab Adh-Dha’ifah no. 5816”. [akhir nukilan dari Syaikh].

“Asalamu’ala Nabi’ Bukan “Asalamu’alaika Ayyuhan Nabiyu”

Perlu dikoreksi juga tentang bacaan dalam tasyahud, yaitu lafazh “asalamu’alaika ayyuhan nabiyu..” yang hanya digunakan ketika Nabi shallallahu’alaihi wasalam masih hidup, adapun setelah beliau shallallahu’alaihi wasalam wafat maka bacaan yang benar menjadi, “Asalamu’ala nabi”. Akan tetapi seringkali orang-orang tetap menggunakan bacaan “asalamu’alaika ayyuhan nabiyu..”, ini adalah sebuah kesalahan.
Sahabat Ibn Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata,
... وَهُوَ بَيْنَ ظَهْرَانَيْنَا فَلَمَّا قُبِضَ قُلْنَا السَّلَامُ يَعْنِي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya : “… dan ucapan ini ketika Nabi shallallahu’alaihi wasalam sedang berada ditengah-tengah kami. Ketika telapak tanganku dilepas oleh beliau, kami pun berkata, ‘as-salam, maksudnya, as-salam ala nabi”.
Hadits ini riwayat Bukhari dalam Shahih, Kitab Al-Isti’dzaan no. 5910. Telah datang pula riwayat dari Aisyah radhiyallahu’anha semisal dari Ibn Mas’ud radhiyallahu’anhu. [Al-Albani berkata, “Riwayat As-Siroj dalam Musnadnya (9/1/2) dan Mukhallash dalm kitab Al-Fawa’id (11/54/1) dengan sanad shahih”. [Shifat Shalat Nabi shallallahu’alaihi wasalam hal. 200].
Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul Baari (2/314) mengutip riwayat Abdurrazaq dari Atha yang mengatakan bahwa para sahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam dahulu memang mengatakan ‘as-salam’alaika ayyuhannabiyu, ketika beliau masih hidup. Namun setelah beliau wafat, para sahabat mengatakan ‘as-salamu ‘ala nabi’. Dan berita ini shahih. Perkataan Ibn Hajar ini kemudian dinukil dan disepakati oleh para ulama diantaranya al-Qashthallani, Al-Zarqani, Al-Lakuni, Al-Albani dan lainnya. Tentu apa yang dilakukan para sahabat ini bukan perkara mengada-ngada, sebab mereka jauh dari persangkaan seperti itu, melainkan pergantian lafazh ini adalah perintah dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam juga.

Tentang Mengqodho Shalat

Shalat lima waktu merupakan kewajiban tiap-tiap muslim yang barangsiapa sengaja tidak melaksanakan maka dia akan celaka, sebagian ulama bahkan ada yang mengkafirkan orang yang sengaja meninggalkannya. Nabi shallallahu’alaihi wasalam bersabda,
الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلَاةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
Artinya: “Perjanjian yang ada diantara kita dan mereka adalah shalat. Jadi barangsiapa meninggalkannya berarti dia kafir”.
Shahih, riwayat Nasa’i (1/231) no. 463, Ibnu Majah (1/342) no. 1079, Tirmidzi (5/13) no. 2621 beliau berkata, “Hasan shahih ghraib”, Ahmad (5/346) no. 22987, Ibn Abi Syaibah (6/167) no. 30396, Ibn Hibban (4/305) no. 1454, Al-Hakim (1/48) no. 11 beliau berkata, ‘Shahih isnad’, Baihaqi (3/366) no. 6291, Ad-Daruquthni (2/52), Ad-Dailami (3/92) no. 4257, Al-Marwazi dalam Ta’dzim Qadar ash-Shalat (2/879) no. 896, Abdullah ibn Ahmad dalam As-Sunnah (1/358) no. 769, dari Buraidah radhiyallahu’anhu dishahihkan oleh Al-Manawi, Al-Albani dan lainnya.
Adapun fatwa dari sebagian ulama bagi orang yang pernah meninggalkan shalat agar mengganti (mengqadha)-nya dengan shalat setelah atau sebelum shalat wajib sebanyak shalat yang dia tinggalkan ketika dia telah bertaubat, maka yang demikian tidak ada dalilnya. Menurut mereka hal itu adalah semacam kafaroh bagi para pelakunya. Padahal Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam bersabda,
مَنْ نَسِيَ صَلَاةً أو نام عنها فليصلها حين يذكرها , لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ
Artinya “Barangsiapa lalai melakukan shalat atau tertidur, maka hendaknya ia tunaikan (shalat itu) ketika ia teringat, dan tidak ada kafaroh selain itu”.
Shahih, Bukhari (1/215) no. 572, Muslim (1/477) no. 684, Abu Dawud (1/121) no. 442, Tirmidzi (1/335) no. 178 beliau berkata, “Hasan shahih”, Ibn Majah (1/227) no. 695, Ibn Khuzaimah (2/97) no. 993, Ibn Hibban (6/373) no. 2648, Baihaqi (2/330) no. 3615, dari Anas radhiyallahu’anhu. Terdapat hadits dari jalan ‘Imran ibn Husein radhiyallahu’anhu yang dikeluarkan oleh Thabrani (18/179) no. 415.
Makna “dan tidak ada kafaroh selain itu” adalah tidak ada kafaroh selain shalat yang dilakukan setelah teringat dan terbangun dari tidurnya, hal itu merupakan nash bahwa bila tidak melakukan shalat seketika itu, maka tidak ada kafaroh selain pada waktu itu. Sekaligus juga penegasan bahwa waktu merupakan syarat sahnya shalat, barangsiapa melaksanakan tidak pada waktunya maka tidak ada shalat baginya, kecuali karena dua hal diatas (tertidur atau lupa yang waktunya adalah ketika ia ingat atau terbangun) atau apa yang ditegaskan oleh sunnah yang shahih, adapun selain itu maka harus ada dalil.
Adapun berdalil dengan hadits :
لا تقبل نافلته حتى يؤدي الفريضة
Artinya : “Tidak akan diterima shalat sunnahnya hingga ia tunaikan shalat-shalat fardhunya”.
Berdalil dengan hadits ini batil, sebab :
Pertama, hadits ini dha’if lihat perinciannya dalam Silsilah Adh-Dha’ifah no. 1257.
Kedua, dan kalaupun shahih tidak menjadi dalil jelas tentang wajibnya mengqadha shalat-shalat wajib yang ditinggalkan.
Ketiga, bertentangan dengan hadits yang lebih shahih bahwa shalat sunnah adalah penyempurna shalat fardhu, seperti yang akan disebutkan.
Jika demikian adanya, lalu bagaimana taubatnya orang yang pernah meninggalkan shalat-shalat wajib?. Kami katakan, hendaknya ia bertaubat dengan taubat nashuha, mendirikan shalat tepat waktunya, senantiasa shalat berjama’ah di mesjid dan memperbanyak shalat nafilah-nya, khususnya shalat sunnah rawatib yang akan menyempurnakan shalat-shalat fardhunya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu’alaihi wasalam,
أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ صَلَاتُهُ فَإِنْ كَانَ أَكْمَلَهَا وَإِلَّا قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ انْظُرُوا لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَإِنْ وُجِدَ لَهُ تَطَوُّعٌ قَالَ أَكْمِلُوا بِهِ الْفَرِيضَةَ
Artinya : “Amalan yang pertama dihisab bagi seorang hamba adalah shalatnya, bila ia telah disempurnakan. Bila belum maka berfirmanlah Allah Azza wa Jalla, “Apakah hamba-Ku ada amalan shalat sunnahnya?”. Bila didapatkan shalat sunnahnya (tathawwu) yang dilakukan seorang hamba, maka Allah berfirman, “Sempurnakan shalat fardhunya dengan shalat nafilahnya”.
Shahih, riwayat Nasai (1/233) no. 466-467 ini satu lafazhnya, Ahmad (2/425) no. 9490, Abu Dawud (1/229) no. 864, Baihaqi (2/386) no. 3813, Ibn Mubarak (1/320) no. 915, Al-Hakim (1/394) no. 965 beliau berkata, “Shahih isnad” dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu. Juga terdapat hadits dari Tamim Ad-Dari dan seorang sahabat semisal ini.

‘Ashalatu Khairun Minannaum’
Hanya Disyari’atkan Dalam Adzan Shubuh Yang Pertama

Justru yang lebih aneh mereka tidak mengikuti sunnah di zaman Rasul shallallahu’alaihi wasalam dalam dua kali adzan shalat subuh, tapi mencukupkan dengan sekali adzan saja. Bahkan lebih menggelikan lagi mereka membaca, ‘Asholatukhairum minannaum’ ketika adzan yang kedua bukan adzan yang pertama, berhubung mereka tidak mengenal adzan pertama.
Di zaman Nabi shallallahu’alaihi wasalam diketahui secara pasti terdapat dua adzan di waktu shubuh. Dalam hadits tentang puasa tersirat dua adzan ini,
عَنْ عَائِشَةَ - رضى الله عنها - أَنَّ بِلاَلاً كَانَ يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ ، فَإِنَّهُ لاَ يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
Artinya : Dari Aisyah radhiyallahu’anha, Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan (pertama) di malam hari, maka bersabdalah Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam, “Makan dan minumlah sampai Ibnu Umi Maktum mengumandangkan adzan (kedua), karena dia tidak beradzan kecuali ketika fajar sudah terbit”.
Dikeluarkan oleh Bukhari (Kitab Shaum no. 1918), dan Muslim no. 1092
Dan ketahuilah wahai fulan, tatswib (ashalatu khairun minannaum) itu hanya disyari’atkan dalam adzan shubuh yang pertama yang dikumandangkan sebelum masuk waktu (yaitu adzannya Bilal menurut hadits diatas). Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 501 dan yang lainnya, bahwa tatswib dibaca :
فِي الْأُولَى مِنْ الصُّبْحِ
‘Dalam (adzan) awal dari subuh’.
Hadits ini dikuatkan oleh kesaksian Ibn Umar yang mengatakan bahwa dalam adzan pertama sesudah ‘al-falah’ ada bacaan : ashalatu khairun minannaum’. Riwayat ini oleh Baihaqi (1/423) dan ath-Thahawi dalam Syarh al-Ma’ani (1/82) dengan sanad yang shahih, sebagaimana dikutip oleh Al-Albani dalam Tamam Al-Minah hal. 157.

Mengangkat Tangan Sehabis Shalat Wajib

Kemudian ada sedikit pembicaraan dalam masalah mengangkat tangan sehabis shalat wajib, apakah ini sunnah atau bukan?. Syaikh Ibn Bazz dan kebanyakan muhadits menganggap ini tidak ada asalnya dalam sunnah yang shahih, dan inilah yang benar. Adapun berdalil dengan dua hadits :
Pertama, hadits Fudhail ibn Abbas atau hadits Muthalib, yang berbunyi :
الصَّلَاةُ مَثْنَى مَثْنَى تَشَهَّدُ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ وَتَخَشَّعُ وَتَضَرَّعُ وَتَمَسْكَنُ وَتَذَرَّعُ وَتُقْنِعُ يَدَيْكَ يَقُولُ تَرْفَعُهُمَا إِلَى رَبِّكَ...
Artinya : ‘Shalat itu dua-dua, tasyahud dalam tiap dua rakaat, dan khusyu, berserah diri, tenang, merendahkan diri, dan menengadahkan pada dua tanganmu. Dikatakan, ‘Angkatlah keduanya pada Tuhan mu, ... dst.
Dikeluarkan oleh Ahmad (1/211), (4/167), Abu Dawud (2/29) no. 1296, Tirmidzi (2/225) no. 385, Baihaqi (2/488) no. 4353, 4354, Thayalisi hal. 195 no. 1366, Nasai dalam Al-Kabir (1/212) no. 615-616, (1/451) no. 1440-1441, Ibn Khuzaimah (2/220) no. 1212, 1213, Ad-Daruquthni (1/418), Thabrani (18/295) no. 757, Ibn Mubarak dalam Az-Zuhud (1/404) no. 1152, Al-Bazzar (6/ 110) no. 2169 dan Abu Ya’la (12/101) no. 6738.
Bagi sebagian orang yang tidak teliti, nampak hadits ini seperti memiliki dua jalur padahal sebenarnya hanya satu jalur saja sebab yang terjadi adalah perselisihan dari dua rowinya sebagaimana yang dikatakan Nasai, yaitu antara Al-Laits ibn Sa’ad dengan Syu’bah, salah satu dari keduanya buruk hapalannya, Nasai dalam Sunan Al-Kabir berkata:
ذكر اختلاف شعبة والليث على عبد ربه في حديث عبد الله بن نافع
Artinya : ‘Apa yang dikatakan tentang perbedaan Syu’bah dan Al-Laits atas (riwayat) Abd Rabih dalam hadits Abdullah ibn Nafi”.
Tapi riwayat keduanya tetap berujung pada Abdullah ibn Nafi ibn Al-‘Amya’i yang majhul. Bukhari telah mengisyaratkan kedhaifan Abdullah ibn Nafi ini. Maka tetap saja hadits ini dha’if.
Lihat biografi orang ini oleh Ibn Hajar dalam Taqrib at-Tahdzib no. 3658 dan Tahdzib At-Tahdzib juz 6 no. 98, Al-Mizzi dalam Tahdzib Al-Kamal juz 16 no. 3608, Al-Aqili dalam adh-Dhu’afa (2/310-311) no. 893, Ibn Abi Hatim dalam Jarh wa Ta’dil (5/183) no. 853, dan Bukhari dalam Tarikh Al-Kabir juz 5 no. 685.
Lagi pula hadits ini tidak menyebutkan secara pasti sunnahnya mengangkat tangan selepas shalat wajib, bahkan para muhadits memasukan hadits ini pada bab shalat sunnah. Sebagaimana disebutkan Ad-Daruquthni,
باب صلاة النافلة في الليل والنهار
Artinya : ‘Bab shalat nafilah (sunnah) di waktu malam dan siang’.
Hal tersebut kalau hadits ini shahih, kenyataannya tidak.
Kedua, hadits dari Abdullah ibn Jubair, disebutkan :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بن أَبِي يَحْيَى، قَالَ: رَأْيَتُ عَبْدَ اللَّهِ بن الزُّبَيْرِ، وَرَأَى رَجُلًا رَافِعًا يَدَيْهِ يَدْعُو قَبْلَ أَنْ يَفْرَغَ مِنْ صَلاتِهِ، فَلَمَّا فَرَغَ مِنْهَا، قَالَ:"إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَكُنْ يَرْفَعُ يَدَيْهِ، حَتَّى يَفْرَغَ مِنْ صَلاتِهِ
Artinya : “Menceritakan kepada kami Muhammad ibn Abi Yahya, beliau berkata: ‘Aku melihat Abdullah ibn Zubair yang memperhatikan seorang laki-laki yang mengangkat dua tangannya sebelum selesai shalat. Maka ketika selesai dari shalatnya, Abdullah ibn Zubair berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam belum mengangkat dua tangannya sehingga selesai dari shalatnya”.
Dikeluarkan oleh Thabrani dalam Al-Kabir (13/129) no. 324, atau dalam ‘Al-Abdala’ hal 66 no. 90. Al-Haitsami (10/169) berkata, “Rijalnya tsiqah”. Perkataan ini seperti dikenal oleh para ulama yang sibuk dalam ilmu hadits, tidak mensyaratkan keshahihan hadits. Bahkan kalau kita teliti kembali, ternyata tidak semua rijalnya tsiqah, ada Fudha’il ibn Sulaiman dia ini dha’if,
Berkata Ibn Hajar, “Shaduq tapi banyak kesalahannya”. Taqrib at-Tahdzib no. 5427.
Al-Mizzi dan lainnya mengutip kesaksian para muhadits tentang dia, [Tahdzib Al-Kamal juz 23 no. 4759]. Lihat juga Adz-Dzahabi dalam Mizan Al’Itidal juz 3 no. 6767, Ibn Hajar dalam Tahdzib-At-Tahdzib juz 8 no. 536, dan Ibn Adi dalam Al-Kamil fi Dhu’afa juz 6 no. 1566 :
Yahya ibn Mu’in berkata, “laisa bi tsiqah’ (tidak bisa dipercaya). Abu Zur’ah berkata, “layyinul hadits”. Abu Hatim berkata, “Haditsnya ditulis, laisa bi qawi (tidak kuat)”. Abu Dawud berkata, “Sesungguhnya Abdurrahman ibn Mahdi tidak meriwayatkan darinya”. Nasai berkata, “Laisa bi qawi”. Ibn Qani’ berkata, “Dha’if”.
Hanya saja Ibn Hibban memasukannya kedalam kitab Ats-Tsiqah Juz 7 no. 10248. Akan tetapi seperti kita ketahui jarh (celaan) lebih dibanyak, dan didahulukan daripada ta’dil (pujian). Dan kalaupun riwayat dia bisa diterima maka riwayatnya memerlukan penguat, dan tidak ada penguat baginya dalam riwayat ini. Dengan demikian haditsnya pun dha’if.
Ada tambahan lagi menurutku, bahwa hadits ini sama seperti sebelumnya kemungkinan berbicara tentang shalat sunnah, dan setelah shalat sunnah tidak ada halangan untuk mengangkat tangan dan berdoa sebagaimana shalat istisqa. Hal tersebut kalau hadits ini shahih.
Ketahuilah sesungguhnya berdoa dan berdzikir selepas shalat wajib telah disunnahkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam, akan tetapi mengenai pensyaratan mengangkat tangan dalam pelaksanaan doanya tidak ada nash yang shahih, maka dengan demikian jika dibiasakan hal ini bid’ah. Seperti kita ketahui tidak setiap doa mengharuskan seseorang untuk mengangkat tangannya, berbeda dengan pemahaman dari Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi dalam salah satu kitab kecilnya. Bahkan kalau memang perbuatan ini ma’ruf sudah selayaknya dinukilkan kepada kita riwayat dari salafus shalih (para sahabat) tentang dikerjakannya perbuatan ini secara rutin oleh mereka.

Mengusap Muka Setelah Berdoa

Sebelum terlewat, kami mengingatkan pula bahwa mengusap muka setelah berdoa juga tidak disebutkan oleh nash yang shahih, walaupun hadits yang meriwayatkannya lumayan banyak akan tetapi rawinya lemah dalam segi yang tidak dapat ditambah yaitu lemah dalam keadilannya. Jadi tidak menjadi hasan atau saling menguatkan sebab yang lemah bukan hapalan melainkan keadilan. Jika diterangkan disini akan memerlukan pembahasan yang sangat panjang, maka silahkan rujuki kitab Juzun fi Mash Al-Wajhi bi Al-Yadaini Ba’da Raf’ihima Ad-Du’a karya Syaikh Bakr Abu Zaid, dan Irwa'ul Ghalil (2/178-182) karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani.
Bukti lain bahwa mengusap muka setelah berdo'a tidak penah dicontohkan adalah dikuatkan oleh fakta bahwa terdapat hadits-hadits yang tsabit (shahih atau hasan) yang menyatakan diangkatnya tangan untuk berdo'a, tapi tidak ada satupun yang menjelaskan mengusap muka setelahnya, dengan hal ini, wallahu a'lam, mengusap muka setelah berdoa tidak diterima dan tidak pernah dicontohkan, kecuali ia memang diriwayatkan oleh hadits-hadits lemah.
Inilah yang harus kita ingatkan kepada umat, namun demikian kita tidak boleh terlalu keras kepada mereka sebab sebenarnya mereka tidak mengetahui kejelasannya seperti ini atau mereka memiliki pemahaman lain, dan hanya Allah yang memberi petunjuk. Ingatkanlah dengan cara yang baik, mudah-mudahan kita semua selamat, amiin.

Khutbah Jum’at/Ied Dengan Berbahasa Arab
Di Antara Orang Ajam

Sebagian orang telah berlaku berlebihan dengan mewajibkan khutbah jum’at dan khutbah-khutbah Ied dengan bahasa Arab walau jama’ahnya orang Ajam (non Arab) tanpa dalil. Sebagian mereka berdalil dengan hadits :
عن يحيى بن أبي كثير ، قال : حدثت ، عن عمر بن الخطاب ، أنه قال : إنما جعلت الخطبة مكان الركعتين ...
Artinya : Dari Yahya ibn Abi Katsir, beliau berkata, “Diriwayatkan kepadaku dari Umar ibn Khaththab, sesungguhnya ia berkata: “Sesungguhnya khutbah (jum’at) itu sebanding dengan dua rakaat….”.
Menurut mereka, karena khutbah jum’at sama dengan dua rakaat shalat zhuhur, sedangkan dalam shalat dilarang menggunakan bahasa, kecuali bahasa Arab, maka khutbah harus berbahasa Arab.
Padahal hadits ini tidak shahih, dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushanaf (1/126/1) no. 5324. Riwayat ini tidak shahih, karena terputusnya jalan antara Yahya ibn Abi Katsir dengan Umar. Yahya ini tidak pernah bertemu dengan Umar radhiyallahu’anhu dan tidak pernah mendengar darinya. Ia sering mentadlis hadits, kadang berkata, “Meriwayatkan dari Anas” padahal tidak berasal dari Anas. Jadi, hadits ini tidak muntasil (ingat syarat mangkul !!!).
Biografi Yahya disebutkan oleh Adz-Dzahabi dalam Mizan Al-‘Itidal biografi no. 9607, al-Aqili dalam Dha’if Al-Kabir (4/423-424) biografi no. 2051, Al-Mizzi dalam Tahdzib Al-Kamal jilid 31 biografi no. 6907 dan lain-lain.
Kesalahan ini, nampak dari tiga sisi :
Pertama, asal dari tujuan khutbah itu untuk memperingatkan manusia, Allah Ta’ala berfirman : artinya : “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat jum’at maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli” (Qs. Jumu’ah 9).
Kedua, menyelisihi hadits-hadits shahih yang menceritakan dialog Nabi shallallahu’alahi wasalam dengan jama’ahnya waktu Khutbah jum’at atau Ied.
Bukhari (3/49) no. 1166 –Al-Fath), Muslim (2/596-597) no. 57 dan 59, Abu Dawud (1/291), Ad-Darimi (1/384), Ahmad (3/279) dan lainnya meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasalam seringkali berdialog dengan jama’ah shalat jum’at saat khutbah, “Sulaik Al-Ghathfani datang sedangkan Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam sedang berkhutbah. Lantas Nabi shallallahu’alaihi wasalam bersabda kepadanya : “Apakah kamu sudah shalat dua rakaat sebelum duduk?”. Dia menjawab, “Belum”. Beliau bersabda, “Shalatlah 2 rakaat dan janganlah terlalu lama mengerjakannya”.
Dalam hadits riwayat Ahmad (3/318) no. 14460, Muslim (2/19) no. 885 dan lain-lain dari Jabir radhiyallahu’anhu disebutkan tentang berdirinya seorang perempuan di saat khutbah ied untuk bertanya. Nabi shallallahu’alaihi wasalam kemudian menjawab pertanyaan itu sampai dimengerti oleh mereka.
Sisi pendalilannya, adalah bahwa hadits-hadits ini adalah indikasi kuat tentang tidak disyari’atkannya khutbah dengan bahasa Arab dikalangan orang Ajam yang tidak mengerti bahasa Arab. Ada dialog berarti keduanya (imam dan jama’ahnya) harus mengerti apa yang sedang dibicarakan. Bahkan yang lebih aneh kadangkala si khatibnya tidak mengerti dengan khutbahnya sendiri sebab ia tidak bisa berbahasa Arab (hanya membaca tulisan orang lain).
Ketiga, mereka yang berpendapat seperti itu, merasa tidak sah khutbah jum’at kecuali dengan berbahasa Arab, mereka akan senantiasa shalat jum’at di mesjid-mesjid khusus yang mereka dirikan yaitu Mesjid Dhiror, mesjid yang didirikan untuk memecah belah kaum muslimin. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلا الْحُسْنَى وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
Artinya : “Dan ada orang-orang yang mendirikan masjid Dhirar, untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka Sesungguhnya bersumpah: "Kami tidak menghendaki selain kebaikan." Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya)” [Qs. At-Taubah 107].
Lalu Allah Ta’ala melarang shalat disana :
لا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ
Artinya : “Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih” [Qs. At-taubah 108].
Dari sini para ulama melarang shalat di mesjid-mesjid Dhirar atau yang semakna dengannya, sebagaimana dikatakan Syaikh Al-Albani rahimahullahu, “Tidak boleh shalat di mesjid Dhirar, dan mesjid-mesjid yang semakna dengannya. Ini adalah pendapat ulama Malikiyah dan lainnya” [Ats-Tsamar Al-Mustathab 1/397)].
Bahkan mesjid-mesjid itu telah banyak menimbulkan kemudharatan terhadap kaum muslimin. Allah Ta’ala berfirman dalam kelanjutan ayat diatas :
لا يزال بنيانهم الذي بنوا ريبة في قلوبهم إلا أن تقطع قلوبهم والله عليم حكيم
artinya : “Bangunan-bangunan yang mereka dirikan itu senantiasa menjadi pangkal keraguan dalam hati mereka, kecuali bila hati mereka itu telah hancur. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” [At-Taubah 110].
Menurut satu riwayat makna : ‘kecuali bila hati mereka itu telah hancur’ yaitu kematian.

Duduk Istirahat

Kemudian disunnahkan dalam sunnah yang jelas tentang duduk istirahat, yaitu duduk seperti duduk diantara dua sujud ‘sehingga tiap tulang kembali ke tempatnya’ ketika hendak berdiri untuk rakaat selanjutnya. Perkara ini tercantum dalam Bukhari, Abu Dawud dan selainnya tapi tidak diamalkan bahkan tidak ‘dikenal’ oleh sebagian orang seolah-olah bukan sunnah. Perbuatan ini masyhur dikalangan ahli ilmu, Ibn Hani dalam Masailnya (1/57) menyebutkan bahwa ia telah menyaksikan Imam Ahmad berbuat demikian, yakni terkadang beliau duduk terlebih dahulu dengan tegak kemudian bangkit berdiri. Dinukil pula dari Imam Syafi’i dan lainnya.

Posisi Imam Dan Makmum Bila Dilakukan Dua Orang

Dalam perkara lainnya juga banyak terjadi kesalahan, misalkan dalam posisi imam dan ma’mum dalam shalat berjama’ah yang dilakukan oleh dua orang. Jika terdiri dari dua orang laki-laki maka posisi yang benar adalah keduanya sejajar, salah satu dari keduanya tidak lebih depan tidak juga lebih belakang.
Perhatikan gambar dibawah :
Dua orang laki-laki


Gambar ini, berdasarkan dalil hadits Ibn Abbas radhiyallahu ’anhu :
فقام يصلي من الليل فقمت عن يساره فتناولني من خلف ظهره فجعلني على يمينه
Artinya : “Aku shalat bersama Nabi shallallahu ’alaihi wasalam di suatu malam, aku berdiri di samping kirinya, lalu Nabi shallallahu’alaihi wasalam memegang bagian belakang kepalaku dan menempatkan aku disebelah kanannya”.
Bukhari dalam Shahih-nya telah menerjemahkan hadits Ibn Abbas radhiyallahu ’anhu ini dengan ucapan :
" باب يقوم عن يمين الإمام بحذائه سواء , إذا كانا اثنين " .
Bab ‘Berdiri di kanan imam sejajar dengan sepatunya apabila hanya berdua”.
Yang dimaksud dengan sawaa’ (artinya sejajar) pada perkataan Bukhari adalah tidak terlalu maju dan tidak terlalu mundur (Fathul Baari (2/160), Al-Hafizh Ibn Hajar berkata :
سواء " أي لا يتقدم و لا يتأخر
Artinya : “Sawaa’ yakni tidak terlalu maju dan tidak terlalu mundur”.
Terdapat hadits serupa dari Anas, Jabir dan Umar radhiyallahu’anhum. Dan praktek dari salafus shalih setelahnya, diantaranya :
عن ابن جريج قال : قلت لعطاء : الرجل يصلي مع الرجل أين يكون منه? قال : إلى شقه الأيمن , قلت : أيحاذي به حتى يصف معه لا يفوت أحدهما الآخر ? قال : نعم قلت : أتحب أن يساويه حتى لا تكون بينهما فرجة ? قال : نعم .
Ibnu Juraij pernah bertanya kepada Atha' (seorang tabi'in), "Seorang menjadi ma'mum bagi seorang, dimanakah ia (ma'mum) harus berdiri?. Jawab Atha', "Di tepinya". Ibnu Juraij bertanya lagi, "Apakah si Ma'mum itu harus dekat dengan Imam sehingga ia satu shaf dengannya, yaitu tidak ada jarak antara keduanya (ma'mum dan imam) ?". Jawab Atha', "Ya!". Ibnu Juraij bertanya lagi, "Apakah si ma'mum tidak berdiri jauh sehingga tidak ada lowong antara mereka (ma'mum dan imam)?. Jawab Atha' : "Ya".


Shalat Sendiri-Sendiri Jika Imam Telah Shalat

Adalagi perkara yang dianggap sepele oleh orang-orang yang senang berpecah belah tapi sangat besar disisi ahli ilmu, yaitu mereka (ahli ilmu) membiasakan diri shalat sendiri-sendiri didalam mesjid jika imam telah shalat, agar tidak terkesan ada dua shalat jama’ah dalam satu mesjid.
Imam Syafii dalam Al-Umm (1/136) berkata, “Kami hapal benar (tentang hadits). Ada beberapa orang tertinggal shalat (jama’ah) lalu mereka melakukan shalat sendiri-sendiri disaksikan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal mereka mampu mendirikan jama’ah. Dan ada segolongan orang yang tertinggal shalat jama’ah, lalu mereka datang ke mesjid dan masing-masing dari mereka shalat sendiri-sendiri. Mereka tidak menyukai (melakukan jama’ah) agar tidak terkesan ada pelaksanaan shalat jama’ah dalam satu masjid dua kali”.
Berkata Al-Albani dalam Tamam Al-Minah (hal. 168), “Apa yang dimu’alaqkan oleh Asy-Syafii dari shahabat itu maushul dari Al-Hasan Al-Bashri, ia berkata, “Para shahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk ke sebuah masjid dan shalat (jama’ah) telah usai, maka mereka shalat sendiri-sendiri”. (Ibn Abi Syaibah 2/223).
Saya katakan : Ini disebabkan salafus shalih membenci perpecahan dan menutup semua pintu ke arah itu, diantaranya adalah dengan menolak mengadakan dua kali shalat jama’ah dalam satu mesjid. Adapun berdalil dengan hadits yang menyebutkan bahwa Nabi shalallallahu’alaihi wasalam memerintahkan seseorang agar bershodaqah (dengan cara menemani shalat) kepada temannya yang tertinggal shalat jama’ah, maka yang demikian sebab orang yang diperintah shadaqah itu telah shalat bersama imam, bukan mutlak boleh bagi yang belum shalat. Yang kami maksud adalah dalam masjid yang telah ditentukan imam-imam shalatnya, adapun untuk mesjid yang ada dijalan-jalan yang biasa digunakan oleh orang-orang yang safar dan tidak ada imamnya maka yang demikian tidak apa-apa (mengadakan shalat jama’ah dua kali).

Yang Dimaksud Merapatkan Shaf

Kemudian yang dimaksud dengan merapatkan barisan bukanlah dengan cara merapatkan ujung kaki dengan ujung kaki temannya, melainkan merapatkan shaf sehingga rapat antara bahu dengan bahu, lutut dengan lutut dan tumit dengan tumit.
Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رُصُّوا صُفُوفَكُمْ وَقَارِبُوا بَيْنَهَا وَحَاذُوا بِالْأَعْنَاقِ
Artinya : “Rapatkanlah shaf kalian, saling mendekatlah, dan luruskan pundak-pundak”.
An-Nu’man Radhiyallahu ‘anhu telah menyaksikan orang-orang yang berma’mum dibelakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata :
فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ يَلْزَقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَرُكْبَتَهُ بِرُكْبَةِ صَاحِبِهِ وَكَعْبَهُ بِكَعْبِهِ
Artinya : “Lantas aku melihat seseorang menempelkan bahunya dengan bahu temannya, menempelkan lututnya dengan lutut temannya dan menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya”.
Hadits Anas Radhiyallahu‘anhu membenarkan apa yang disaksikan An-Nu’man, seperti disebutkan dalam hadits yang lain.

Tidak Wajib Bagi Imam Berada Ditengah-Tengah Shaf

Kemudian, tidak wajib bagi imam berada ditengah-tengah shaf, atau shaf ma’mum tidak harus seimbang antara kiri dan kanan.
Ibn Bazz berkata, “Tidak disyariatkan bagi imam untuk mengatakan : ‘Seimbangkan antara shaf kanan dan shaf kiri. Tidak mengapa jika sebuah shaf lebih banyak terisi yang sebelah kanan, karena menginginkan keutamaan yang telah dijanjikan” (Al-Fataawaa (1/61).
Yakni keutamaan yang dijanjikan dalam hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha,
إن الله وملائكته يصلون على ميامن الصفوف
Artinya : “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya membacakan shalawat kepada jama’ah yang berada dishaf bagian kanan”.
Telah datang atsar dari shahabat bahwa dizaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka lebih senang berada disebelah kanan, al-Bara ibn Azib Radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
كنا إذا صلينا خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم أحببنا أن نكون عن يمينه
Artinya : “Dulu kami mengerjakan shalat dibelakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan kami lebih senang untuk berada disamping kanan beliau”.
Sehingga Imam Muslim membuat bab tersendiri, “Bab lebih disenanginya berada disebalah kanan imam”.
Adapun hadits :
وَسِّطُوا الإِمَامَ وَسُدُّوا الْخَلَلَ
Artinya : “Posisikan imam shalat itu tepat ditengah dan tutuplah celah-celah shaf”.
Hadits ini dha’if.

Menarik Seseorang Dari Shaf

Kemudian kami ingatkan kembali bahwa tidak boleh menarik seseorang dari shaf, adapun hadits :
" إِذَا انْتَهَى أَحَدَكُمْ إِلَى الصَّفِّ وَ قَدْ تَمَّ , فَلْيَجْبِذبْ إِلَيْهِ رَجُلاً يُقِيْمُهُ إِلَى جَنْبِهِ "
Artinya : “Apabila salah seorang dari kalian sampai pada shaf yang telah penuh, maka hendaklah menarik seorang dari barisan itu dan menempatkannya di sebelahnya”.
Hadits ini dan hadits semisalnya lemah bahkan maudhu.
Akan tetapi, walaupun demikian tidak boleh shalat sendirian dibelakang shaf, kecuali terpaksa. Sebab Nabi shallallahu’alaihi wasalam bersabda kepada orang yang shalat sendirian dibelakang shaf :
استقبل صلاتك لا صلاة للذي خلف الصف
Artinya : “Ulangi shalatmu sebab tidak sah sholat (sendirian) dibelakang shaf”.
Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini dibawa pada orang yang mampu bergabung dengan shaf tapi tidak melakukannya sebagaimana dikatakan pula oleh Ibn Taimiyyah, adapun orang yang terpaksa maka tidak apa-apa shalat sendirian daripada menarik seseorang dari shaf. lihat dalam Al-Irwa (2/326, 329).
Dalam Adh-Dha’ifah (1/322) Al-Albani menyebutkan, bahwa tidak boleh mengatakan menarik seseorang dari shaf agar ia berdiri dishaf bersamanya merupakan hal yang disyaratkan, karena hal itu berarti mensyari’atkan tanpa nash, dan ini tidak dibolehkan bahkan yang wajib baginya bergabung dengan shaf, jika memungkinkan, jika tidak memungkinkan, maka ia shalat sendiri dan shalatnya dianggap sah, karena Allah berfirman,
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا
Artinya : “Allah tidak membebani seseorang kecuali dengan kesanggupannya” (Qs. Al-Baqarah 286).
Fatwa serupa datang dari Ibn Utsaimin.

Merayakan Malam Dua Hari Raya Dan Takbir Dengan Cara Dikomando

Serupa dengan diatas adalah dalam merayakan malam dua hari raya, yang tidak berdasarkan hadits shahih melainkan dari hadits-hadits maudhu (palsu), lihat dalam Silsilah Adh-Dhaifah wal Maudhu’ah no. 520-521. Bahkan bid’ah bertambah-tambah dengan kebiasaan membaca takbir dengan cara dikomando (bersama-sama) yang tidak ada dalilnya. Masalah ini telah diingatkan tentang kebid’ahannya oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah (1/121), Syaikh Ali Hasan dalam Ahkam Iedain hal 33, dan bahkan Syaikh Hamud At-Tuwaijiri telah mengkhususkannya dalam sebuah kitab tersendiri yang kami dilupakan dari judulnya.



Mengakhiri Khutbah Jum’at/Ied
Dengan ’innallaaha ya’muru bil adhi wal ihsan...”

Contoh yang sekarang sering terlihat adalah dalam mengakhiri khutbah (khutbah jum’at atau ied) dengan firman Allah Ta’ala : ’innallaaha ya’muru bil adhi wal ihsan...” (Qs. An-Nahl ayat 90) atau mengatakan ’udzkurullaha bi dzikrikum...’, yang mereka membiasakannya dan menjadikannya sunnah yang haram diselisihi, kalaupun tidak mengharamkannya maka mereka akan merasa kurang puas sebelum menyebutkannya.
Imam Ali al-Qari rahimahullahu (w. 1014 H) dalam Syammul Awaaridh fi Dzammir Rawaafidh hal. 87 berkata:
”Asal muasal perbuatan sesat ini pada mulanya dikerjakan oleh sebagian orang. Sebabnya mereka enggan mengerjakan sunnah Nabi dan malah melakukan bid’ah. Sebagian penguasa lebih memilih untuk disebutkan namanya diatas mimbar oleh para khathib. Sebagian penguasa itu beralasan bahwa keempat khulafa rasyidun telah disebutkan didalam khutbah. Jadi mereka minta untuk ikut disebutkan. Sedangkan para penguasa Bani Umayyah mencela Ali ibn Abi Thalib dan para pengikutnya sampai datang Umar ibn Abdul Aziz. Beliaulah yang menghentikan tradisi cacian kepada Ali dan pengikutnya tersebut. Memang Allah Ta’ala telah menunjukan kejayaan Islam dizaman Umar ibn Abdul Aziz, seperti pernah terjadi dimasa kejayaan Islam zaman Umar ibn Khattab. Sebab dibawah kepemimpinan mereka inilah benar-benar terwujud keadilan ditengah masyarakat. Pertama kali contoh yang ditunjukan oleh Umar ibn Abdul Aziz ketika berkhutbah diatas mimbar adalah membaca pujian kepada Allah subhanahu wa Ta’ala. Mensyukuri nikmat-nikmatNya dan memberikan nasihat kepada jama’ah. Ketika sampai pada frasa celaan kepada Ali ibn Abi Thalib sebagaimana biasa oleh para pemimpin sebelumnya, Umar ibn Abdul Aziz menggantinya dengan ayat yang berbunyi: ’innallaha ya muru bil adhi wal ihsan, ushikum ibaadallahi bi taqwallah” baru setelah itu beliau menuruni mimbar”.
Hal ini sebenarnya tidak ada contohnya dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, bahkan bertentangan dengan kebiasaan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam jika telah selesai dari suatu majelis.
Imam Abu Dawud rahimahullahu (w. 275 H) dalam Sunan no. 4859 meriwayatkan dengan sanadnya dari Abi Hurairah radhiyallahu’anhu, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mengucapkan diakhir urusannya apabila hendak berdiri (sudah selesai) dari satu majlis :
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
artinya : Maha Suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu, aku mengakui bahwa tidak ada Tuhan (yang boleh disembah) melainkan Engkau, aku memohon ampun kepada-Mu, dan aku bertobat kepada-Mu.
Lalu seseorang bertanya : “Ya Rasulullah ! sesungguhnya Engkau tadi mengucapkan satu perkataan yang belum pernah Engkau ucapkan sebelumnya”.
Beliau menjawab :
كَفَّارَةٌ لِمَا يَكُونُ فِي الْمَجْلِسِ
artinya : "(bacaan) itu sebagai kaffarat (penebus kesalahan/dosa) yang terjadi di dalam majlis (tadi)".
Memang perkataan ’innallaha ya muru bil adhi wal ihsan, ushikum ibaadallahi bi taqwallah” tidak buruk bahkan ia adalah firman Allah Ta’ala, akan tetapi semua ada tempat dan sunnahnya.



Membuka Khutbah Ied Dengan Takbir

Juga kebiasaan membuka khutbah ied dengan takbir, hal ini juga bukan sunnah. Menggunakan hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Majah no. 1287 bahwa beliau dahulu memperbanyak bacaan takbir didalam kedua khutbah hari raya. Hadits ini selain dha’if juga tidak menunjukan bahwa membuka khutbah itu mesti dengan takbir. Bahkan yang benar khutbah itu harus dibuka dengan hamdalah atau khutbatul hajat seperti biasanya.
Kami akan kutipkan sifat shalat dan khutbah ied Nabi shallallahu’alaihi wasalam :
عَنْ جَابِرٍ قَالَ شَهِدْتُ الصَّلاَةَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى يَوْمِ عِيدٍ فَبَدَأَ بِالصَّلاَةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ فَلَمَّا قَضَى الصَّلاَةَ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى بِلاَلٍ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَوَعَظَ النَّاسَ وَذَكَّرَهُمْ وَحَثَّهُمْ عَلَى طَاعَتِهِ ثُمَّ مَالَ وَمَضَى إِلَى النِّسَاءِ وَمَعَهُ بِلاَلٌ فَأَمَرَهُنَّ بِتَقْوَى اللَّهِ وَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ وَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ حَثَّهُنَّ عَلَى طَاعَتِهِ ثُمَّ قَالَ « تَصَدَّقْنَ فَإِنَّ أَكْثَرَكُنَّ حَطَبُ جَهَنَّمَ ». فَقَالَتِ امْرَأَةٌ مِنْ سَفِلَةِ النِّسَاءِ سَفْعَاءُ الْخَدَّيْنِ بِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « تُكْثِرْنَ الشَّكَاةَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ ». فَجَعَلْنَ يَنْزِعْنَ قَلاَئِدَهُنَّ وَأَقْرُطَهُنَّ وَخَوَاتِيمَهُنَّ يَقْذِفْنَهُ فِى ثَوْبِ بِلاَلٍ يَتَصَدَّقْنَ بِهِ.
Artinya : Dari Jabir ibn Abdullah radhiyallahu’anhu beliau berkata, “Aku pernah shalat Id bersama Rasulullah shallallahu’alaihiwasalam. Beliau memulainya dengan shalat, sebelum khutbah –tanpa adzan dan iqamah- setelah selesai shalat beliau berdiri dengan bersandar kepada Bilal, lalu beliau memuji dan menyanjung-Nya, kemudian menasehati, memperingatkan dan menyuruh mereka untuk menaati-Nya. Kemudian beliau dan Bilal bergeser dan beralih ke arah para perempuan, lalu memerintahkan mereka untuk bertakwa kepada Allah dan menasehati serta memperingatkannya. Selanjutnya beliau memuji dan menyanjung-Nya, serta mengajurkan mereka untuk menaati-Nya. Setelah itu beliau bersabda, “Bersedekahlah kalian karena sebagian besar kalian adalah bahan bakar api jahanam”. Lalu seorang perempuan , bangkit berdiri dengan pipi kehitam-hitaman dan berkata, “Apa penyebabnya wahai Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam?”. Beliau bersabda, “Kalian banyak mengeluh dan mengingkari kebaikan suami”. Lalu mereka segera melepas kalung, anting, serta cincin mereka dan melemparkannya ke kain (yang dibentangkan) Bilal sebagai sedekah”.
Hadits ini sedikitnya ada 14 faidah :
1. Didalamnya ada petunjuk bahwa sunnah dalam dua hari raya adalah mengerjakan Shalat Ied.
2. Shalat Ied dilakukan sebelum Khutbah, tanpa adzan dan iqamah. Juga tidak disunnahkan membaca, ‘ashalatu jami’ah’, sebab tidak ada dalil yang menyebutkan demikian.
3. Dalam khutbah itu dianjurkan untuk memuji dan menyanjung Allah Ta’ala terlebih dahulu, bukan bertakbir kemudian menasehati, memperingatkan dan menganjurkan jamaah shalat untuk menaati Allah.
4. Dalam khutbah juga diperbolehkan bagi imam untuk mengeser tubuhnya menghadap ke arah perempuan untuk memperingatkan mereka secara khusus.
5. Dalam khutbah Ied diperbolehkan terjadi dialog antara jamaah dan imamnya, sebab dalam hadits diatas, Nabi shallallahu’alaihi wasalam tidak mencegah perempuan itu untuk bertanya, bahkan beliau shallallahu’alaihiwasalam menjawab pertanyaan itu dengan baik.
6. Hadits ini mengisyaratkan bahwa mengikuti khutbah ied tidak wajib, dan berbeda sifatnya dengan khutbah jum’at. Dari Abdullah ibn as-Sa’ib radhiyallahu’anhu yang berkata: “Aku menghadiri shalat Ied bersama Nabi shallallahu’alaihiwasalam dan ketika seusai shalat beliau bersabda, “Sesungguhnya kami akan berkhutbah, barangsiapa ingin duduk untuk mendengarkan khutbah, maka dipersilahkan duduk. Dan barangsiapa yang ingin pergi, maka dipersilahkan untuk pergi”.
7. Dengan sendirinya karena khutbah Ied tidak wajib diikuti, maka tidak wajib pula melakukan dua kali khutbah yang dipisahkan antara keduanya dengan sekali duduk seperti khutbah jum’at, bahkan hal itu bid’ah. Sedangkan riwayat yang menyebutkan hal itu derajatnya dha’if sekali seperti yang telah kami terangkan.
8. Disunnahkan untuk bersedekah dalam shalat dua hari raya dengan membentangkan kain seperti yang dilakukan Bilal radhiyallahu’anhu.
9. Perempuan disunnahkan menghadiri shalat ied, sesuai lafazh haditsnya : “Kemudian beliau dan Bilal bergeser dan beralih ke arah para perempuan”. Ini menandakan bahwa perempuan di zaman Nabi shallallahu’alaihiwasalam biasa menghadiri shalat ied. Akan tetapi mereka tidak keluar kecuali dengan mengenakan jilbab untuk menutup aurat mereka.
10. Jilbab yang dimaksud wajib menutupi seluruh tubuh mereka kecuali wajah dan telapak tangannya. Berdasarkan dzahir haditsnya: “Lalu seorang perempuan, bangkit berdiri dengan pipi kehitam-hitaman dan berkata…”. Perempuan yang kelihatan pipinya adalah perempuan yang tidak mengenakan cadar, sebab mustahil kelihatan pipinya jika dia bercadar.
11. Sebagian besar perempuan masuk nereka karena banyak mengeluh dan mengingkari kebaikan suaminya.
12. Nabi shallallahu’alaihiwasalam menganjurkan bagi perempuan untuk memperbanyak sedekah.
13. Disini terlihat pula keutamaan para sahabat wanita di zaman Rasulullah shallallahu’alaihiwasalam, dalam ketaatan kepada Allah dan Rasulullah shallallahu’alaihiwasalam. Lafazh haditsnya menyebutkan : “Lalu mereka segera melepas kalung, anting, serta cincin mereka dan melemparkannya ke kain (yang dibentangkan) Bilal sebagai sedekah”.
14. Didalamnya ada penjelasan bahwa wanita boleh memakai perhiasan, seperti terlihat dari kenyataan bahwa para sahabat wanita telah biasa memakai perhiasan seperti kalung, anting dan cincin, yang terbuat dari apa-apa yang dihalalkan bagi mereka, wallahu’alam.


---- akhir bagian pertama ----
























Tafsir Surat Al-Israa Ayat 71
dan Beberapa Syubhatnya

يَوْمَ نَدْعُو كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ فَمَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَأُولَئِكَ يَقْرَءُونَ كِتَابَهُمْ وَلا يُظْلَمُونَ فَتِيلا
”Artinya : (Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan imamnya (bi imamihim); dan barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun”.
---------------------------------------------------------------------
Yang dimaksud dengan bi imamihim dalam ayat diatas bukan ’imam-imam yang biasa dibai’at didunia”. Tafsir yang benar dari bi imamihim adalah dengan kitab catatan amal masing-masing atau yang dimaksud adalah dengan nabinya masing-masing, dan inilah yang benar lagi shahih. Dapat anda lihat atsar-atsarnya dalam banyak kitab hadits dan tafsir.
Diantaranya apa yang Imam Bukhari rahimahullahu sebutkan dalam Shahih (5/228), Kitab Tafsir: Surat Bani Israil bab:
بَاب قَوْلِهِ { عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا }
Dari Ibnu Umar radliyallaahu‘anhu, beliau berkata:
إِنَّ النَّاسَ يَصِيرُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ جُثًا كُلُّ أُمَّةٍ تَتْبَعُ نَبِيَّهَا
“Sesungguhnya manusia pada hari kiamat menjadi berkelompok-kelompok (jutsan), setiap umat (kelompok) mengikuti Nabinya”.
Yang dimaksud kata “Jutsan” (diterjemahkan : berkelompok-kelompok) artinya berjama’ah-jamaah, yakni sesuatu yang berkumpul. Sebagaimana umat ini kelak akan berkumpul sebagai umat yang satu, dalam firman Allah (surat Al Anbiya 92) :
إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ
Artinya : “Sesungguhnya umat kalian adalah umat yang satu dan Aku (Allah) adalah Rob kalian, maka beribadahlah kepadaKu”.

Syubhat 1
Adapun berdalil dengan hadits Ali radhiyallahu’anhu yang disebutkan oleh Al-Qurthubi dalam Tafsir (10/297) tanpa sanad, bunyinya :
وقال عليّ رضي الله عنه: بإمام عصرهم. وروي عن النبيّ صلى الله عليه وسلم في قوله: «يوم ندعو كلَّ أناس بإمامِهِم» فقال: «كلٌّ يدعى بإمام زمانهم وكتابِ ربِّهم وسنّةِ نبيّهم…
Dan berkata Ali radhiyallahu’anhu : “(maksud ayat itu) imam dimasa mereka”, dan diriwayatkan dari Nabi shallallahu’alaihi wasalam tentang firman Allah : [“(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan imamnya] beliau bersabda, ”Tiap-tiap orang mengikuti imam zaman mereka, dan Kitab Rabb mereka, dan Sunnah Nabi mereka...”.
Atsar ini disebutkan pula oleh Al-Alusi dalam Tafsir (11/26), As-Syaukani dalam Fathul Qadir (4/339), As-Sayuthi dalam Dar Mantsur (6/301), dan lainnya, semuanya menisbatkannya kepada Ibn Mardawaih.
Ketahuilah bahwa hadits ini palsu, Muhammad Dhohir ibn Ali Al-Fatani (w. 986 H) dalam Tadzkiratul Maudhu’at (1/85) berkata,
فيه داود الوضاع
“Didalam rawinya ada Dawud, seorang pendusta”.
Bagaimana hadits ini bisa dijadikan dalil?.
Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: artinya "Barangsiapa yang menceritakan dariku (dalam riwayat yang lain: meriwayatkan dariku) satu hadits yang ia sangka (dalam satu lafadz : yang ia telah mengetahui) sesungguhnya hadits tersebut dusta/palsu, maka ia termasuk salah seorang dari para pendusta (dalam satu lafadz: termasuk diantara dua pendusta)".
Hadits ini mutawatir.

Syubhat 2
Apa yang kami katakan ini tidak menapikan wajibnya memiliki imam yang kita taat kepadanya selama tidak diperintah maksiat, baik itu imam yang baik atau jelek (ketaatan bukan hanya untuk imam yang baik/adil), demi memenuhi dalil dan kemaslahatan bagi umat.
Nabi shallallahu’alaihi wasalam bersabda:
يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ
Artinya : “Akan ada sesudahku para pemimpin yang tidak mengambil petunjukku. Mereka juga tidak mengambil sunnahku. Akan ada di kalangan mereka orang yang berhati iblis dengan jasad manusia”.
قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
Ditanyakan kepada beliau, “Bagaimana kami harus berbuat jika kami mendapati hal itu ya Rasulullah?”. Beliau menjawab, “Dengar dan taatilah pemimpin tersebut, meskipun mereka memukul punggungmu dan merampas hartamu, maka dengarlah dan taatlah”.
Dengan lafazh ini adalah riwayat Muslim (3/1476) no. 1847, Baihaqi (8/157), Thabrani dalam Al-Ausath (3/190) no. 2893, dan Al-Hakim (4/547) no. 8533, beliau berkata, “Shahih isnad’.
Bukan manhaj ahlus sunnah, keluar dari kepemimpinan penguasa Muslim disuatu wilayah dengan alasan pemimpin itu berbuat dosa dan bid’ah, lalu mendirikan keimaman sendiri yang karena ‘dharurat’ dilakukan secara rahasia dan tidak memiliki kekuasaan sedikitpun. Mereka kemudian mengatakan bahwa pemimpin mereka itulah imam yang wajib dibai’at dan ditaati walaupun sama sekali ciri-ciri seorang penguasa tidak ada padanya.
Mereka merasa, diri mereka adalah kumpulan ahlul haq sehingga perlu memisahkan diri dari jumhur yang dipandang tidak lagi konsisten terhadap sunnah dan dipenuhi bid’ah bahkan dituduhkan kekafiran. Padahal dugaan-dugaan ini bukan alasan sama sekali untuk ‘khuruj’ dari jama’ah kaum muslimin.

Syubhat 3
Mereka berdalil dengan atsar gharib yang disebutkan dalam Kanzil Ummal no. 1644 dari Ali radhiyallahu’anhu yang berkata :
والجماعة والله مجامعة اهل الحق وان قلوا والفرقة مجامعة اهل الباطل وإن كثروا
Artinya: “Dan al-jama’ah, demi Allah, adalah perkumpulan ahli haq meskipun mereka sedikit dan al-firqoh adalah perkumpulan ahli bathil meskipun mereka banyak jumlahnya”.
Rawinya yaitu Salim ibn Qais Al-‘Amari disebutkan oleh Ibn Abi Hatim dalam Jarh wa Ta’dil (no. 930), tanpa jarh dan ta’dil. Disebutkan dalam Al-‘Alam az-Zarkili (3/119). Ditambah lagi yang meriwayatkan darinya adalah Aban ibn Abi ‘Iyas, berkata Ahmad ibn Hambal, “Matrukul hadits, manusia meninggalkan haditsnya”.
Atsar ini mereka jadikan dalil bolehnya membuat jama’ah yang terpisah dari jama’ah kaum muslimin. Padahal kalaupun atsar ini shahih, maknanya adalah seperti perkataan Imam Ibn Qayyim (w. 751 H) rahimahullahu,
وما أحسن ما قال أبو محمد عبد الرحمن بن إسماعيل المعروف بأبى شامة فى كتاب الحوادث والبدع: "حيث جاء به الأمر بلزوم الجماعة فالمراد به لزوم الحق واتباعه، وإن كان المتمسك به قليلا والمخالف له كثيرا" لأن الحق هو الذى كانت عليه الجماعة الأولى من عهد النبى صلى الله تعالى عليه وسلم وأصحابه، ولا نظر إلى كثرة أهل الباطل بعدهم
Artinya : ”Alangkah bagusnya apa yang dikatakan Abu Muhammad Abdurrahman ibn Ismail yang dikenal dengan Abu Syamah dalam kitabnya Al-Hawadits wal Bid’a : Dimana telah datang perintah memegang teguh Al-Jama'ah, maka yang dimaksud dengannya adalah berpegang teguh kepada al-haq (kebenaran) dan mengikutinya, walaupun orang yang berpegang teguh itu sedikit dan yang menyelisihinya itu banyak, Sesungguhnya yang dimaksud dengan al-haq (kebenaran) ialah apa-apa yang dipahami oleh jamaah pertama dari kalangan para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memandang kepada banyaknya ahli kebatilan setelah mereka”.
Ighatsatul Lahfan (1/69 – tahqiq Syaikh Muhammad Hamid Al-Faqi).
Dan itu tidak dibatasi jumlah atau perkumpulan, sebagaimana haditsnya Abdullah ibn Mas’ud radhiyallahu’anhu :
يا عمرو بن ميمون إنّ جمهور الجماعة هيّ التي تفارق الجماعة إنّما الْجماعة ما وافق طاعة الله وإن كنت وحدك.
Artinya : “Ya Amru bin Maimuun sesungguhnya Jumhur Al-Jama'ah (kebanyakan orang yang berkelompok) mereka lah yang menyelisihi Al-Jama'ah, dan Al-Jama'ah itu adalah yang sesuai dengan ketaatan kepada Allah walaupun kamu sendirian”.
Dikeluarkan oleh Al-Lalikai dalam Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jamaah (1/108-109) no. 160 dan Ibnu Atsakir dalam Tarikh Dimasyqi (13/322/2) ditakhrij Al-Albani dalam al-Misykat (1/61) dengan sanad yang shahih.
Imam Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H) rahimahullahu berkata :
لو سألت الجهال من السواد الأعظم قالوا جماعة الناس ولا يعلمون ان الجماعة عالم متمسك بأثر النبي صلى الله عليه و سلم وطريقه فمن كان معه وتبعه فهو الجماعة ومن خالفه فيه ترك الجماعة
Artinya : ”Seandainya kamu bertanya kepada orang yang jahil (bodoh) tentang As-Sawaadul A'dzam, niscaya akan mengatakan : Jama'ah orang-orang, mereka tidak mengetahui bahwa Al-Jama'ah adalah seorang alim yang berpegang teguh kepada atsar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan jalannya, maka siapa saja yang bersama dan mengikutinya maka dia adalah Al-Jama'ah, dan siapa saja yang menyelisihinya maka dia keluar dari al-jama’ah”.
Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya' (9/239) – cet Beirut
Imam Asy-Syathibi (w. 790 H) rahimahullahu berkata,
فانظر في حكايته تتبين غلط من ظن أن الجماعة هي جماعة الناس وإن لم يكن فيهم عالم وهو وهم العوام لا فهم العلماء فلبثبت الموفق في هذه المزلة قدمه لئلا يضل عن سواء السبيل ولا توفيق إلا بالله
Artinya : “Perhatikanlah kisah yang menjelaskan tentang kekeliruan orang yang mengira bahwa yang dimaksud al-jama’ah adalah sekelompok orang, meski didalamnya tidak terdapat orang alim. Ini adalah prasangka orang awam, bukan pemahaman para ulama. Kita sebaiknya memantapkan pijakan kaki kita, agar tidak tersesat ke dalam jalan yang buruk. Tiada taufik selain dari Allah”.
Al-I’tisham (2/791), sebelum permasalahan ke delapan belas, bab sebab pecahnya kelompok yang membuat bid’ah.
Kita telah menyimak atsar-atsar dan perkataan para ulama salaf, tidak ada satupun yang mendukung perbuatan mereka. Bahkan kita bisa balik bertanya : Apakah benar kalian bisa dikatakan ahlul haq dengan keadaan kalian sendiri yang juga dipenuhi bid’ah dan kesesatan?.
سورة البقرة 251 -

وَلَوْلا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَفَسَدَتِ الأرْضُ وَلَكِنَّ اللَّهَ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْعَالَمِينَ
Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebahagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.
___________________
Salah satu makna ayat ini adalah seperti yang dikutip Badrudin ibn Jama’ah dari Ath-Thurthusi,
لولا أن الله تعالي أقام السلطان في الأرض يدفع القوي عن الضعيف، وينصف المظلوم من ظالمه، لتواثب الناس بعضهم على بعض، فلا ينتظم لهم حال، ولا يستقر لهم قرار، فتفسد الأرض ومن عليها، ثم أمتن الله – تعالي – على عباده بإقامة سلطان لهم بقوله  وَلَكِنَّ اللَّهَ ذُو فَضْلٍ عَلَى العَالَمِينَ
“Seandainya Allah tidak mengangkat seorang penguasa dibumi guna membela yang lemah dan memberikan keadilan kepada orang yang teraniaya, maka keadaan manusia menjadi kacau balau tidak beraturan, serta norma-norma kehidupan menjadi goncang dan tidak terkendalikan. Kemudian rusakalah bumi beserta penghuninya, kemudian Allah Ta’ala memberti anugerah bagi hambanya sehingga Allah mengangkat seorang penguasa bagi mereka”. Allah Ta’ala berfirman, “Akan tetapi Allah mempunyai karunia yang dicurahkan atas semesta alam” (Al-Baqarah 251)”.
Berkata Al-Alusi dalam Tafsir (2/301) :
وفي هذا تنبيه على فضيلة الملك وأنه لولاه ما استتب أمر العالم ، ولهذا قيل : الدين والملك توأمان ففي ارتفاع أحدهما ارتفاع الآخر لأن الدين أس والملك حارس وما لا أس له فمهدوم وما لا حارس له فضائع .
“Dalam ayat ini ada isyarat yang sangat menonjol tentang keutamaan penguasa. Sesungguhnya semua urusan dialam ini tidak akan menjadi stabil dan mantap tanpa eksistensi penguasa. Karena inilah kita mendengar suatu ungkapan yag mengatakan: bahwa agama dan penguasa adalah dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Bila diangkat salah satunya, maka akan terangkatlah yang lainnya, karena agama itu bagaikan pondasi bangunan sedangkan penguasa seperti penjaga pondasi itu. Sesuatu yang tidak ada pondasinya akan hancur dan sesuatu yang tidak ada penjaganya akan lenyap dengan cepat”.
Ibn Hayyan dalam Bahr Al-Muhith [2/497] juga mengemukakan satu pendapat bahwa ayat ini bicara tentang penguasa (as-Sulthon).
Demikian pula ar-Razi dalam Tafsir (3/423-424), beliau mengemukakan bahwa ayat ini semakna dengan surat Al-Hajj ayat 40:
وَلَوْلا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ كَثِيرًا وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ
Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan mesjid-mesjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. [al-Hajj 40).
Penulis berkata : Bacalah dan pahamilah bagaimana para ulama kita memaknai ayat ini untuk menyebutkan keutamaan para penguasa, yang tidak dipunyai oleh selainnya dari hamba-hamba Allah Ta’ala. Inilah keutamaan penguasa yang dikhususkan Allah. Mereka mencegah kedholiman orang dholim, membela yang lemah dan memberikan keadilan kepada orang yang teraniaya, menegakkan hukum, melindungi kaum muslim, rumah-rumahnya dan mesjid-mesjid dari serangan orang-orang kafir dan dholim.
Syaikh Ibn Barjas rahimahullahu berkata :
فامتنان الله – تعالي – على عباده بأثامه السلطان بين أظهرهم دليل على فضل السلطان، إذ أن الله – تعالي – إنما يمتن على عباده بالأمور العظام، تنبيه على ما دونها، وإظهار لعظيم فضله – تعالي -.
“Anugerah Allah Ta’ala atas hambanya dengan tegaknya penguasa didaerah mereka adalah dalil bagaimana keutamaan penguasa. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala menganugerahkan itu untuk hambanya supaya mereka ingat betapa besarnya perkara ini dibandingkan yang lainnya, dan menjelaskan bagaimana kebesaran dan keutamaan Allah Ta’ala dalam masalah ini”.
Penulis berkata : Disini ada kerancuan kaum hizbi yang mengklaim hadits-hadits keimaman dan bai’at yang bertebaran dalam Qur’an dan Hadits adalah untuk kelompok mereka dan pemimpinnya. Bahkan ini kerancuan yang nyata sebab imam-imam mereka nyata-nyata tidak ada fungsinya sebagaimana ayat diatas.
Bagaimana ia bisa mencocoki ayat diatas “menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebahagian yang lain” dan “… sehingga tidak “dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan mesjid-mesjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah”. Bahkan untuk melindungi harta dan rumah-rumah pengikutnya, harus minta pertolongan dan perlindungan –tanpa malu- kepada penguasa yang mereka tuduh dengan kekafiran.
Kita berlindung kepada Allah agar dijauhkan dari kejahilan dan kedholiman.
























سورة النساء83 -

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الأمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الأمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلا قَلِيلا
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau pun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).
_______________________________________
Keamanan dan Ketakutan
Imam Al-Baghawi dalam Tafsir (2/254-255) menuturkan bahwa makna keamanan pada ayat diatas adalah kemenangan perang dan harta rampasannya, adapun ketakutan maknanya datangnya peperangan, sebab sesungguhnya ayat “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau pun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya” berkenaan dengan diutusnya pasukan perang oleh Nabi shallallahu’alaihi wasalam.
Makna ayat ini, mungkin lebih tepat kalau seperti yang disebutkan dalam tafsir Muqotil karena lebih luas dan mencakup juga sebab asbabun nuzul lain dari riwayat Muslim, yakni mengenai rumah tangga Rasulullah shallallahu’alahi wasalam yang berita bohongnya meresahkan kaum muslimin pada waktu itu.
Makna keamanan menurut Tafsir Muqotil (1/335) adalah segala segala sesuatu yang menggembirakan orang mukmin dari kemenangan (perang) dan kebaikan. Adapun ketakutan maknanya apa-apa yang datang kepada mereka dari bencana dan kesusahan.
Ulil Amri
Adapun makna ulil amri pada ayat ini juga terdapat perbedaan diantara ahli tafsir, namun demikian pada dasarnya yang dimaksud adalah mereka yang berkompeten dibidangnya yang mengetahui kemaslahatan kaum muslimin sebab pengetahuan mereka. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman : “...(akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)”. Yakni sebab mereka ‘alim (mengetahui).
Imam Al-Mawardi dalam Tafsir Nukhat wal Uyun (1/316) mengatakan tentang makna ulil amri dari ayat ini :
1. Yang dimaksud adalah Umaro (pemimpin/penguasa),
2. Yang dimaksud adalah panglima perang, ini juga yang dikuatkan oleh dalam Tafsir Muqotil.
3. Yang dimaksud, ahli ilmu dan ahli fiqh.
Imam Ibn Jauzi dalam Zadul Masir (2/73) juga merangkumkan yang semakna dengan diatas.
Hikmah
Ayat ini juga menentang kebatilan perkataan kaum hizbi yang melimpahkan perkara kepada yang bukan ahlinya. Mereka menyerahkan bai’at (dengan dalil pembai’atan kepada para umaro (imam/amir) dalam hadits-hadits) kepada mereka yang tidak berkompetan sebab ciri-ciri umaro tidak ada padanya, maksudnya mereka yang tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk melindungi rakyatnya.
Sebab Umaro adalah tameng yang pedangnya terhunus sehingga ditakuti dan ditaati sebagaimana perkataan Imam Ahmad. Oleh sebab pedangnya itu hukum bisa ditegakkan, orang-orang jahat ketakutan, musuh tidak menyerang sehingga ibadah bisa lancar.
Ayat diatas, juga menyebut ‘keamanan dan ketakutan”, yang kedua hal ini merupakan tugas imam dalam melindungi rakyatnya, sebab imam itu pelindung (perisai).
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
Artinya: “Sesungguhnya imam itu bagaikan perisai, digunakan untuk berperang dari belakangnya dan sebagai pelindung”.
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Seorang pemimpin/imam bagaikan perisai, karena ia menghalangi musuh dari mengganggu umat islam, dan mencegah kejahatan sebagian masyarakat kepada sebagian lainnya, membela keutuhan negara Islam, ditakuti oleh masyarakat, karena mereka khawatir akan hukumannya. Dan makna ‘digunakan untuk berperang dibelakangnya‘ ialah orang-orang kafir diperangi bersamanya, demikian juga halnya dengan para pemberontak, kaum khawarij, dan seluruh pelaku kerusakan dan kelaliman”.
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam :
وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ
Artinya : “Dan Barangsiapa memberi bai’at kepada seorang pemimpin dengan menjabat tangannya dan dilaksanakannya dengan sepenuh hati, hendaknya ia mentaatinya dengan segenap kemampuan. Jika ada orang lain yang merebut kepemimpinannya penggallah lehernya”.
Adapun kaum hizbi, mereka telah berbuat salah dengan tidak menempatkan dalil tidak pada tempatnya, sebagaimana Abu Bakar radhiyallahu’anhu berkata:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّكُمْ تَقْرَءُونَ هَذِهِ الْآيَةَ و تَضَعُونَهَا عَلَى غَيْرِ مَوْضِعِهَا
Artinya : ”Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian sering membaca ayat ini, namun kalian tidak meletakan itu pada tempatnya”.
Itu semua sebab mereka tidak bersama ulama dan jama’ah, mereka malah memisahkan diri darinya. Menyerahkan segala urusan kepada yang bukan ahlinya (bukan ulama juga bukan umaro). Mereka (hizbi) adalah ciri-ciri kiamat seperti yang telah ma’ruf.
Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam bersabda:
إِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِذَا أُسْنِدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ
Artinya : “Apabila amanah telah disia-siakan tunggulah kiamat”. Ditanyakan, “Bagaimana amanat disia-siakan?”. Beliau menjawab, “Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kiamat”.
Para salaf kita yang shalih –yang mereka lebih kompeten- telah dengan tegas membantah penyimpangan ini diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu dalam Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah (1/115), beliau berkata :
وهو أن النبي  أمر بطاعة الأئمة الموجودين المعلومين الذين لهم سلطان يقدرون به على سياسة الناس لا بطاعة معدوم ولا مجهول ولا من ليس له سلطان ولا قدرة على شيء أصلا
“Sesungguhnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam telah memerintahkan agar kita mentaati pemimpin yang ada dan telah diakui kekuasaan dan kedaulatannya untuk mengatur manusia, tidak memerintah kita untuk mentaati pemimpin yang tidak jelas dan tidak diketahui keberadaannya, juga tidak mempunyai kekuasaan dan kemampuan sedikitpun”.
Al-Allamah Shiddiq Hasan Khan rahimahullahu pernah pula mengungkapkan makna yang serupa dalam Iklilul Karamah (h. 127), beliau berkata: “Tidak terdapat di dalam kitab (al-Qur’an), Sunnah (hadits), ucapan sahabat ataupun Ijma’ bahwa seseorang yang mengajak manusia untuk membai’atnya kemudian ia dianggap sebagai Imam sekedar dengan itu, yang harus ditaati dan haram diselisihi”.
Imam Al-Mawardi As-Syafi’i rahimahullah berkata: “Umat manusia harus memiliki seorang pemimpin yang berkuasa, yang dengannya bersatu berbagai keinginan yang beraneka ragam, dan berkat kewibawaannya jiwa-jiwa yang berselisih dapat bersatu, berkat kekuatannya orang-orang yang zalim dapat dihentikan, dan karena rasa takut kepadanya jiwa-jiwa yang jahat lagi suka membangkang dapat dijinakkan. Hal ini karena sebagian manusia memiliki ambisi untuk menguasai dan menindas orang lain, yang tabiat ini tidaklah dapat dihentikan kecuali dengan kekuatan dan ketegasan” [Faidhul Qadir, Imam Al-Manawi (4/143)].
Imam Ibn Abdul Wahab rahimahullah berkata, “Para imam dari berbagai madzhab telah sepakat bahwa orang yang menundukan suatu negara atau daerah, maka dia mempunyai wewenang hukum dalam semua aspek kehidupan”. [Ad-Durar As-Sunniyah fil Ajwibah an-Najdiyah 7/239].
Juga lihat penjelasannya oleh Syaikh Abdussalam Barjas Ali Abdul Karim rahimahullahu –kibar ulama hijaz- dalam Mu’amalatul Hukkam fi Dhauil Kitab wa Sunnah.





























Tafsir Surat An-Nissa Ayat 14 Dan Beberapa Syubhatnya
وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ
Artinya : “Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukannya ke dalam api neraka, sedang ia kekal didalamnya dan baginya siksa yang menghinakan”.
___________________________________
Kata حدوده (“ketentuan-ketentuan-Nya”) pada ayat ini, para ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud adalah : Jalan-Nya, Ketaatan kepada-Nya, Sunatullah dan Perintah-Nya, atau ketentuan Allah bagi hamba-Nya (secara umum), ada pula yang mengatakan bahwa ia khusus ketentuan Allah bagi hukum-hukum dalam warisan sebagai kelanjutan ayat sebelumnya. [Lihat An-Nukhat wal ‘Uyun, Al-Mawardi (1/282), Tafsir Ibn Abdus Salam (1/358) dan lainnya].
Berkata Al-Hafizh Ibn Katsir dalam Tafsir (2/232): “Yakni ini ketentuan-ketentuan dan bagian-bagian dari apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi ahli waris…”.
Menurut kami, semuanya tidak bertentangan, sebab ketentuan Allah dalam bagi waris juga termasuk hukum Allah secara umum sebagaimana pula hukum Allah itu termasuk didalamnya masalah bagi waris. Kita tidak boleh melanggar semua ketentuan yang telah Allah tetapkan, sehingga ketika seseorang memberi wasiat sedangkan wasiatnya itu melanggar hukum yang telah Allah tetapkan dalam pembagian warisan maka wasiat itu batal dengan sendirinya.
Keanehan
Anehnya ada sebagian kelompok yang hanya karena perbedaan pemahaman terhadap nash-nash kemudian melarang pengikutnya mewarisi dengan selain kelompoknya seakan-akan selain kelompoknya itu kafir sehinggga tidak boleh saling mewarisi. Liciknya, jika mereka yang akan mewaris maka tidak boleh dikasih ahli waris dari selain kelompoknya itu, tapi ketika keluarganya yang bukan kelompoknya yang mewaris, maka ia minta bagian. Betapa mengherankannya masalah ini, tidakkah kita takut termasuk dalam ayat : “…mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya”.
Syubhat
Kemudian mereka mempermasalahkan kalimat خالدا فيها (“sedang ia kekal didalamnya”). Padahal dalam kalimat ini tidak ada syubhat kecuali bagi orang yang terpengaruh pemikiran khawarij.
Berkata As-Sa’di dalam Tafsirnya (1/170),
فلا يكون فيها شبهة للخوارج القائلين بكفر أهل المعاصي
“Maka tidaklah ada didalamnya syubhat bagi Khawarij, yang menyematkan kekafiran kepada ahli maksiat”.
Sebab sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibn Jauzi dalam Tafsir Zadul Masir (1/500) :
أنه إِذا ردَّ حكم الله ، وكفر به ، كان كافرا مخلدا في النار
“Demikian itu (kekal di neraka) jika membantah hukum Allah, dan kafir dengannya, hanya orang-orang kafir yang kekal di neraka”.
Sebelumnya, Sa’id ibn Jabir berkata :
يعني من يكفر بقسمة المواريث وهم المنافقون
“Yakni bagi orang yang kafir dengan ketentuan bagi waris dan mereka orang-orang munafik”. [As-Sayuthi, Dar Mantsur 3/55].
Ibn ‘Ajibah dalam Tafsirnya (1/404) berkata,
وهذا إذا أنكر مشروعيتها فيكون كافرًا
“Dan ini ketika mengingkari ke-masyru-annya sehingga menjadi kafir”.
Hal senada dikatakan oleh Ibn Jarir (8/73).
Adapun bagi ahli maksiat, yang dia tidak mengingkari kewajiban berhukum dengan hukum Allah dan tidak pula meyakini kehalalannya berhukum dengan selain hukum Allah, maka bagi orang seperti itu adalah seperti yang dikatakan oleh Imam Thahawi dalam Aqidahnya (no. 68 –Syarah Al-Albani) :
وأهل الكبائر [ من أمة محمد صلى الله عليه وسلم ] في النار لا يخلدون إذا ماتوا وهم موحدون وإن لم يكونوا تائبين بعد أن لقوا الله عارفين [ مؤمنين ] وهم في مشيئته وحكمه إن شاء غفر لهم وعفا عنهم بفضله كما ذكر عز وجل في كتابه : ( ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء ) [ النساء : 48 و116 ] وإن شاء عذبهم في النار بعدله ثم يخرجهم منها برحمته وشفاعة الشافعين من أهل طاعته ثم يبعثهم إلى جنته وذلك بأن الله تعالى تولى أهل معرفته ولم يجعلهم في الدارين كأهل نكرته الذين خابوا من هدايته ولم ينالوا من ولايته اللهم يا ولي الإسلام وأهله ثبتنا على الإسلام حتى نلقاك به
“Para pelaku dosa besar [dari kalangan umat Muhammad shallallahu’alaihi wasalam] berada dalam neraka, namun mereka tidak kekal didalamnya. Bila mereka meninggal dalam keadaan bertauhid, sementara mereka tidak bertaubat dari perbuatan dosa-dosa besar hinggga matinya, namun mereka dalam keadaan beriman, maka nasib mereka berada dalam kehendak dan kebijaksanaan Allah, jika Allah menghendaki, dengan kebijaksanaan-Nya Dia akan mengampuni dan memaafkan dosa mereka sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya : ‘Dan dia akan mengampuni dosa selain dosa syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya”. (An-Nissa 48 dan 116). Bila Allah mengendaki, Dia akan mengazab mereka di neraka sesuai keadilan-Nya. Kemudian Allah akan mengeluarkan mereka dari neraka karena sifat kasih-Nya dan karena adanya syafaat dari orang-orang yang taat, selanjutnya memasukan mereka ke dalam surga. Hal itu karena Allah Ta’ala mencintai orang-orang yang mengenal-Nya. Dia tidak akan memperlakukan mereka didunia dan diakhirat sebagaimana memperlakukan orang-orang yang tidak mengenal-Nya. Yaitu orang-orang yang tidak mau mengikuti petunjuk-Nya dan tidak mengharap kecintaan-Nya. Wahai Allah, Pemelihara dan Pemilik Islam, teguhkan kami dalam memeluk agama Islam sehingga kami bisa berjumpa dengan Engkau”.
Lalu kenapa khawarij terjebak dalam syubhat ini?
Jawabnya sebab mereka hanya berpegang kepada nash-nash yang bermakna ancaman saja. Kebalikan dengan Murji’ah yang hanya berpegang pada nash-nash janji saja. Adapun ahlus sunnah adalah jalan pertengahan yang memadukan keduanya secara bersamaan.
Diantara ayat-ayat yang Khawarij jadikan dalil –kekalnya para pelaku dosa besar dalam neraka- dalam hal ini adalah ayat diatas, juga firman Allah Ta’ala :
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
artinya “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya” (Qs. An-Nissa 93), dan ayat-ayat lainnya.
Sedangkan diantara hadits-hadits yang mereka jadikan sebagai dalil adalah hadits yang diriwayatkan oleh ash-Shahihain dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu : artinya “Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan potongan besi, maka potongan besinya itu akan dipegangnya lalu ditusuk-tusukkannya pada perutnya di Neraka Jahanam dengan kekal abadi didalamnya selama-lamanya”. Dan hadits dalam Ash-Shahihain dari riwayat Jubair ibn Muth’im Radhiyallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya “Tidak akan masuk surga orang yang memutus hubungan keluarga” dan hadits-hadits lainnya.
Padahal ayat-ayat dan hadits-hadits diatas harus dipahami dengan salah satu dari yang berikut ini :
1. Bahwa nash-nash yang berisi ancaman kekal di neraka atau tidak akan masuk surga bagi siapa saja yang melakukan dosa-dosa besar tersebut diartikan bagi orang yang menganggap halal perbuatan tersebut, karena dengan menghalalkannya ia menjadi kafir. Adapun orang yang mengerjakannya dengan tetap meyakini keharaman perbuatan tersebut, maka ia tidak terkena ancaman itu, sekalipun ia tetap terancam masuk neraka, namun tidak kekal.
2. Bahwa yang demikian itu adalah balasan bagi orang yang melakukan salah satu dari dosa-dosa besar tersebut, akan tetapi Allah berbelas kasih kepada kaum yang bertauhid, maka Dia mengeluarkan mereka dari Neraka, karena tauhid mereka. Firman-Nya :
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
‘Dan dia akan mengampuni dosa selain dosa syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya”. (An-Nissa 48 dan 116).
3. Bahwa ancaman dengan tidak akan masuk surga itu berarti tidak masuk surga dari awal. Jika ia dibalas atas dosanya, maka ia hanya diazab sebesar dosanya saja, kemudian dimasukan ke surga. Dan bisa jadi Allah memaafkannya dan ia tidak disiksa sama sekali. Firman-Nya :
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [az-Zumar 53].
Firman-Nya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَنْ يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [an-Nuur 21].
4. Bahwa itu adalah ancaman, sedangkan (jika Allah) mengabaikan ancaman itu tidaklah tercela bahkan terpuji. Dan mengabaikan ancaman bagi Allah adalah ja’iz (boleh-boleh saja), dan tidak boleh bagi-Nya mengabaikan janji. Sedangkan perbedaan diantara keduanya (ancaman dan janji), bahwa ancaman itu adalah hak-Nya, maka jika Dia mengabaikannya, itu berarti ampunan dan karunia, dan semua itu berdasarkan kemurahan, karunia dan kebaikan-Nya. Sedangkan janji adalah kewajiban-Nya yang telah Dia wajibkan atas diri-Nya. Dan Allah tidak akan mengingkari janji-Nya.
Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ رَحْمَتِي تَغْلِبُ غَضَبِي
Artinya : “Rahmat-Ku telah mendahului kemurkaan-Ku”. [Bukhari no. 6855 dan Muslim no. 2751 dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu].
5. Sesungguhnya nash-nash tersebut dan nash-nash lainnya yang didalamnya terdapat tuntutan siksaan, maka bisa dikatakan berkenaan dengannya bahwa adanya konsekwensi hukum tidak mesti hukum itu terwujud, karena sesungguhnya hukum itu akan terjadi berdasarkan konsekuensinya dan tidak ada pencegahnya. Tujuan dari nash-nash tersebut adalah mengabarkan bahwa suatu perbuatan bisa menjadi sebab satu hukuman dan menjadi konsekuensinya. Sementara itu, telah ada dalil yang menjelaskan pencegah-pencegahnya, seperti taubat, tauhid, kebajikan-kebajikan besar yang dapat menghapus berbagai dosa, musibah-musibah besar yang menjadi pengampun dosa, dan pelaksanaan hudud dan lain-lain.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا عَمِلْتَ سَيِّئَةً فَأَتْبِعْهَا حَسَنَةً تَمْحُهَا
Artinya : “Apabila kamu melakukan suatu kejahatan, maka sertakanlah suatu kebaikan niscaya kebaikan itu akan menghapuskannya”.
Ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ya Rasulullah apakah lailahailallah adalah kebaikan?”.
قَالَ هِيَ أَفْضَلُ الْحَسَنَاتِ
Beliau bersabda, “Itu adalah seutama-utamanya kebaikan”.
[Ahmad (5/169) dari Abu Dzar Radhiyallahu’anhu, lihat Silsilah Ash-Shahihah no. 1373 karya Syaikh Al-Albani rahimahullahu].
Inilah yang ditulis para ulama ahli hadits dalam kitab-kitab mereka dalam menjelaskan syubhat ini, wallahu’alam.
Keterangan Tambahan :
Al-Hafizh Ibn Katsir dalam Tafsir (2/232) menyebutkan dua buah hadits tentang ayat ini, tapi kedua-duanya lemah. Yaitu hadits riwayat Ahmad (2/278), dikatakan dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu secara marfu : artinya “Bahwasannya seorang selama tujuhpuluh tahun mengerjakan amal orang-orang yang baik, lalu ia membuat wasiat dan berlaku tidak adil dalam wasiatnya, maka diakhirilah hidupnya dengan amal buruk dan masuklah ia ke dalam neraka dan bahwasannya seorang mengerjakan amal-amal orang-orang jahat selama tujuhpuluh tahun, lalu ia berlaku adil dalam wasiat yang dibuatnya, maka ia mengakhiri hidupnya dengan amal baik dan masuklah ia ke dalam surga”, lalu menyebutkan surat An-Nissa ayat 13-14.
Hadits ini lemah sebab Syahr ibn Hausyab, seperti diisyaratkan oleh Asy-Syaukani dalam Fathul Qadir (2/100).
Ada juga semisalnya dari riwayat Abu Dawud (no. 2867), Tirmidzi (no. 2117), dan Ibn Majah (no. 2704), tetapi sanadnya juga dha’if sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Al-Albani dalam ta’liqnya atas kitab sunan.




























Istilah Jahiliyah

Syaikh Salih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : “Ada sebagian orang yang menggunakan istilah jahiliyyah bagi masyarakat Islam yang terdapat kerusakan di dalamnya. Dan penggunaan istilah ini memberi konsekuensi negatif sebagaimana yang Anda ketahui. Bagaimanakah bimbingan yang benar dalam masalah ini ?”.
Beliau kemudian menjawab,
“Jahiliyyah secara umum telah berakhir dengan diutusnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, walillahil hamd. Beliau datang dengan membawa cahaya Islam, pelita ilmu dan hidayah yang akan terus ada dan bertahan hingga akhir zaman. Tidak ada lagi masalah jahiliyyah secara umum setelah diutusnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Akan tetapi akan masih tetap ada sisa-sisa jahiliyyah dalam hal-hal tertentu dan jahiliyyah yang dilakukan oleh sebagian oknum. Adapun jahiliyyah secara umum telah berakhir seiring dengan diutusnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak akan kembali hingga datangnya hari Kiamat. Adapun sifat-sifat jahiliyyah yang dilakukan oleh sebagian orang atau jama'ah atau sebagian anggota masyarakat memang masih ada, namun hal itu termasuk jahiliyyah dalam ruang lingkup khusus bagi yang melakukannya. Dengan demikian tidak boleh menggunakan istilah jahiliyyah secara umum sebagaimana yang telah diperingatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah dalam buku Iqtidho’ush Shirothol Mustaqim”.
Mari kita melihat peringatan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho’ush Shirothol Mustaqim (1/259), beliau berkata :
“Adapun mensifati zaman secara mutlak, maka tidak ada masa jahiliyyah setelah diutusnya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena senantiasa akan ada segolongan dari umatnya yang akan nampak di atas kebenaran sampai kiamat nanti”.
Pentahqiqnya, Dr Nashir bin Abdul Karim Al-Aql mengomentari :
“Atas dasar ini, maka menggunakan istilah jahiliyyah dengan mutlak untuk kaum muslimin secara umum, atau untuk suatu negeri kaum muslimin, atau untuk suatu masyarakat muslim, tanpa perincian keadaan, perbuatan, tindakan atau individu tertentu, merupakan suatu kesalahan dan peremehan, yang sudah sepatutnya seorang muslim menjauhinya. Adapun yang disampaikan oleh beberapa penulis, penyusun dan pemikir bahwa semua atau semua masyarakat muslim adalah masyarakat jahiliyyah (tanpa perincian atau pengkhususan siapa yang menurut syari’at berhak menyandang istilah tersebut), maka itu bukanlah metode yang selamat, bahkan menyelisihi kaidah-kaidah syari’at dan manhaj As-Salaf Ash-Shalih”.
Saya berkata : ‘Bahkan ini menunjukan siapa sebenarnya mereka, sebagaimana disebutkan dalam hadits :
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِذَا سَمِعْتَ الرَّجُلَ يَقُولُ هَلَكَ النَّاسُ. فَهُوَ أَهْلَكُهُمْ ».
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kamu mendengar seseorang mengatakan, “Telah rusak manusia, maka dia lah sebenarnya yang lebih rusak daripada mereka”.
SHAHIH, dikeluarkan oleh Malik (2/984) no. 1778, Ahmad (2/465) no. 10006, Muslim (4/2024) no. 2623, Bukhari dalam Adab Al-Mufrad (1/267) no. 759, Abu Dawud (4/296) n. 4983, dan Ibnu Hibban (13/74) no. 5762.



Tidak Mau Bermakmum
Dengan Orang Muslim Selain Kelompoknya

Mereka beralasan bahwa orang-orang awam itu adalah ahli bid’ah maka tidak boleh shalat dibelakang mereka, padahal justru dengan tidak shalat jama’ah bersama orang-oranglah dia termasuk ahli bid’ah.
Ibn Umar juga shalat dibelakang seorang ahli bid’ah Khawarij. Ibn Abu Zamnin rahimahullahu dalam Ushul Sunnah (3/1003) dengan sanadnya dari Siwar ibn Syubaib, “Najdah Haruri pergi haji setelah mendapat restu dari Ibn Zubair. Ia memimpin (imam) shalat sehari semalam termasuk Ibn Umar yang shalat dibelakangnya”. Salah seorang bertanya, ”Wahai Abu Abdurahman, apakah engkau shalat dibelakang Najdah al-Haruri (Khawarij)?. Ibn Umar menjawab, ”Bila mereka mengajak marilah kita menuju kebaikan maka kami penuhi panggilan mereka. Dan apabila mereka mengajak mari kita membunuh jiwa yang suci maka kami mengatakan, ”Tidak!”, sambil dengan suara tinggi”.
Syaikhul Islam Ibn Taimiyah rahimahullah kemudian menggunakan atsar Ibn Umar ini sebagai dalil bahwa Khawarij tidak kafir.
Ibn Taimiyah berkata,
“Boleh seseorang shalat baik shalat jum’at atau shalat lima waktu dibelakang orang yang tidak diketahui apakah fasik atau ahli bid’ah berdasarkan kesepakatan imam empat dan alim ulama, karena mengetahui keyakinan imam bukan syarat sahnya bermakmum” [Majmu Al-fatawa 23/351].
Imam Ibn Abu Izz berkata,
“Barangsiapa tidak hadir shalat jum’at dan jama’ah dibelakang imam fajir, menurut kebanyakan ulama dia termasuk ahli bid’ah, maka harus tetap shalat bersama mereka dan tidak perlu mengulangi” [Syarah Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 420].
Syaikhul Islam Ibn Taimiyah berkata:
“Bila tidak mungkin shalat jum’at kecuali harus dibelakang mereka maka tidak perlu mengulangi shalat, karena mengulangi shalat termasuk perbuatan ahli bid’ah” [Majmu Al-Fatawa 23/344].













Tidak Hati-Hati Dalam Memvonis

Vonis “Dia Tidak Akan Diampuni” atau “Dia Tidak akan Dimasukkan Kedalam Surga”.
Ingatlah tentang kisah orang yang berkata,
وَاللَّهِ لَا يَغْفِرُ اللَّهُ لِفُلَانٍ وَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ مَنْ ذَا الَّذِي يَتَأَلَّى عَلَيَّ أَنْ لَا أَغْفِرَ لِفُلَانٍ فَإِنِّي قَدْ غَفَرْتُ لِفُلَانٍ وَأَحْبَطْتُ عَمَلَكَ أَوْ كَمَا قَالَ
“Demi Allah, Allah tidak mengampuni si fulan”, kemudian Allah berfirman, “Barangsiapa yang bersikap tinggi dengan mengatakan, ‘Aku tidak mengampuni si fulan’ maka sesungguhnya Aku telah mengampuninya dan Aku hapus amal mu”, atau kalimat yang serupa itu.
Riwayat ini dikeluarkan oleh Muslim no. 2621 dan Ibn Abi Dunya dalam Kitab Husnudzan Billah sebagaimana dalam ash-shahihah no. 1685 karya Syaikh Al-Muhadits al-Albani. Dikeluarkan pula oleh Thabrani dalam Al-Kabir (2/165) no. 1680, Baihaqi dalam Syu’ibul Iman no. 6412, Abu Ya’la dalam Musnad no. 1529, Ibn Hibban dalam Shahih no. 5711 dari Jundub radhiyallahu’anhu.
Kemudian Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata,
وفيه دليل صريح أن التألي على الله يحبط العمل أيضا كالكفر وترك صلاة العصر ونحوها
“Hadits ini merupakan dalil yang jelas bahwa sikap tinggi dihadapan Allah juga akan menghapuskan amal baik, seperti apa yang dilakukan orang kafir, meninggalkan shalat ashar dan yang sebangsanya”.
Ada juga hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad (2/323) no. 8275 ini lafazhnya, Abu Dawud (4/275) no. 4901 dan Ibn Hibban no. 5804, dengan sanad yang hasan :
عَنْ ضَمْضَمِ بْنِ جَوْسٍ الْيَمَامِيِّ قَالَ قَالَ لِي أَبُو هُرَيْرَةَ يَا يَمَامِيُّ لَا تَقُولَنَّ لِرَجُلٍ وَاللَّهِ لَا يَغْفِرُ اللَّهُ لَكَ أَوْ لَا يُدْخِلُكَ اللَّهُ الْجَنَّةَ أَبَدًا قُلْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ إِنَّ هَذِهِ لَكَلِمَةٌ يَقُولُهَا أَحَدُنَا لِأَخِيهِ وَصَاحِبِهِ إِذَا غَضِبَ قَالَ فَلَا تَقُلْهَا فَإِنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كَانَ فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ رَجُلَانِ كَانَ أَحَدُهُمَا مُجْتَهِدًا فِي الْعِبَادَةِ وَكَانَ الْآخَرُ مُسْرِفًا عَلَى نَفْسِهِ فَكَانَا مُتَآخِيَيْنِ فَكَانَ الْمُجْتَهِدُ لَا يَزَالُ يَرَى الْآخَرَ عَلَى ذَنْبٍ فَيَقُولُ يَا هَذَا أَقْصِرْ فَيَقُولُ خَلِّنِي وَرَبِّي أَبُعِثْتَ عَلَيَّ رَقِيبًا قَالَ إِلَى أَنْ رَآهُ يَوْمًا عَلَى ذَنْبٍ اسْتَعْظَمَهُ فَقَالَ لَهُ وَيْحَكَ أَقْصِرْ قَالَ خَلِّنِي وَرَبِّي أَبُعِثْتَ عَلَيَّ رَقِيبًا قَالَ فَقَالَ وَاللَّهِ لَا يَغْفِرُ اللَّهُ لَكَ أَوْ لَا يُدْخِلُكَ اللَّهُ الْجَنَّةَ أَبَدًا قَالَ أَحَدُهُمَا قَالَ فَبَعَثَ اللَّهُ إِلَيْهِمَا مَلَكًا فَقَبَضَ أَرْوَاحَهُمَا وَاجْتَمَعَا فَقَالَ لِلْمُذْنِبِ اذْهَبْ فَادْخُلْ الْجَنَّةَ بِرَحْمَتِي وَقَالَ لِلْآخَرِ أَكُنْتَ بِي عَالِمًا أَكُنْتَ عَلَى مَا فِي يَدِي خَازِنًا اذْهَبُوا بِهِ إِلَى النَّارِ قَالَ فَوَالَّذِي نَفْسُ أَبِي الْقَاسِمِ بِيَدِهِ لَتَكَلَّمَ بِالْكَلِمَةِ أَوْبَقَتْ دُنْيَاهُ وَآخِرَتَهُ
Artinya : Dari Dhamdham ibn Jausy Al-Yamani berkata: Abu Hurairah berkata, “Hai Yamani, janganlah sekali-kali engkau mengatakan kepada seseorang bahwa Allah tidak akan mengampuninya atau tidak akan memasukan ke surga”. Aku menjawab, “Sesungguhnya kata-kata ini selalu diucapkan orang kepada saudaranya atau kawannya bila ia marah, ya Abu Hurairah”. Abu Hurairah berkata, “Janganlah sekali-kali engkau mengucapkannya, karena aku mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam bersabda : “Ada dua orang dari Bani Israil berkawan, seorang rajin dan tekun beribadah, sedang yang lain bergelimang dalam kemaksiatan. Yang rajin beribadah selalu mencela kawannya, menasihatinya, agar mengurangi dan menghentikan perbuatan-perbuatan maksiatnya, dan selalu dijawab kata-kata, “Tinggalkanlah aku dengan Tuhanku, apakah engkau diutus untuk menjadi pengawas atas diriku”. Demikianlah percakapan yang terjadi diantara kedua kawan itu, hingga pada suatu hari karena jengkelnya si rajin beribadah itu melihat kawannya yang acuh tidak acuh terhadap nasihat-nasihatnya berkatalah dia, ‘Demi Allah, Dia tidak akan mengampunimu dan tidak akan memasukanmu ke surga”. Setelah keduanya mati dan bertemu keduanya dihadapan Tuhan, berfirmanlah Allah kepada si ahli maksiat: “Pergilah dan masuklah ke dalam surga dengan rahmat-Ku”. Sedang kepada si ahli ibadah, “Apakah engkau mengetahui dan berkuasa atas takdir dan putusan-Ku?’. Bawalah dia ke dalam neraka”. Demi Tuhan yang nyawa Abul Qasim (Muhammad) ditangan-Nya, dia (si ahli ibadah) telah mengucapkan kata-kata yang membinasakan dunia dan akhiratnya”.
Vonis ‘Si Fulan Sukses Masuk Surga” atau “Si Fulan Di Neraka”.
Dalam hadits disebutkan :
عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ تُوُفِّىَ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالَ يَعْنِى رَجُلٌ أَبْشِرْ بِالْجَنَّةِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَوَلاَ تَدْرِى فَلَعَلَّهُ تَكَلَّمَ فِيمَا لاَ يَعْنِيهِ أَوْ بَخِلَ بِمَا لاَ يَنْقُصُهُ ». قَالَ هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ.
Dari Al-‘A’masy dari Anas radhiyallahu’anhu bahwasannya seorang laki-laki meninggal pada masa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Lalu seseorang berkata, “Bergembiralah dengan surga”. Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Apakah yang engkau tahu tentang dia? Bukan mustahil bahwa ia pernah mengucapkan kata-kata yang tidak perlu bagi dia atau dia telah bakhil terhadap sesuatu yang tidak dibutuhkannya”.
Hadits ini hasan karena syawahidnya seperti dikatakan Syaikh Al-Arnauth, dikeluarkan oleh Tirmidzi no. 2316, dan dikuatkan dari hadits Abu Hurairrah radhiallahu’anhu seperti disebutkan oleh Al-Mundziri (w. 656 H), dan hadits dari Ka’ab, seperti diisyaratkan dalam Majma Az-Zawai’id (10/302-303, 313-314) karya Al-Haitsami dan Kanzil Umal no. 2522 karya Al-Muttaqi Al-Hindi (w. 885 H).
Ada pula hadits lain :
عَنْ عَائِشَةَ بِنْتِ طَلْحَةَ عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قَالَتْ أُتِىَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- بِصَبِىٍّ مِنَ الأَنْصَارِ يُصَلِّى عَلَيْهِ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ طُوبَى لِهَذَا لَمْ يَعْمَلْ شَرًّا وَلَمْ يَدْرِ بِهِ. فَقَالَ « أَوَغَيْرَ ذَلِكَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ الْجَنَّةَ وَخَلَقَ لَهَا أَهْلاً وَخَلَقَهَا لَهُمْ وَهُمْ فِى أَصْلاَبِ آبَائِهِمْ وَخَلَقَ النَّارَ وَخَلَقَ لَهَا أَهْلاً وَخَلَقَهَا لَهُمْ وَهُمْ فِى أَصْلاَبِ آبَائِهِمْ.
Artinya : Dari Aisyah ibn Thalhah dari Aisyah Ummul Mukminin, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam diminta menghadiri jenazah seorang anak dari kalangan Anshar dan menshalatinya. Lantas aku berkata, “Wahai Rasulullah beruntung sekali anak kecil ini (menjadi) burung kecil dari burung-burung di surga. Dia belum mengerjakan perbuatan buruk dan belum mencapai usia akal baligh”. Kemudian Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Bisa jadi yang selain itu wahai Aisyah!, sesungguhnya Allah telah menciptakan penghuni untuk surga yang memang Dia ciptakan khusus untuknya selagi mereka berada dalam tulang sum-sum bapak-bapak mereka, dan Dia ciptakan pula untuk penghuni neraka yang Dia ciptakan khusus untuknya selagi mereka masih berada didalam tulang sum-sum bapak-bapak mereka”.
Shahih, dikeluarkan oleh Muslim no. 2662, Ishaq ibn Rahawaih (2/447) no. 1016, Abu Dawud no. 4713, Ibnu Hibban (1/348) no. 138, Thabrani dalam Al-Ausath (5/6) no. 4515 dan selainnya.
Ibn Katsir dalam Tafsir (4/204-205) surat At-Taubah ayat 101 menyebutkan riwayat Abdurrazaq :
أخبرنا معمر، عن قتادة في هذه الآية أنه قال: ما بال أقوام يتكلفون علم الناس؟ فلان في الجنة وفلان في النار. فإذا سألت أحدهم عن نفسه قال: لا أدري! لعمري أنت بنفسك (1) أعلم منك بأحوال الناس، ولقد تكلفت شيئا ما تكلفه الأنبياء قبلك. قال نبي الله نوح: { قَالَ وَمَا عِلْمِي بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ } [الشعراء: 112] وقال نبي الله شعيب: { بَقِيَّةُ اللَّهِ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ وَمَا أَنَا عَلَيْكُمْ بِحَفِيظٍ } [هود: 86] وقال الله لنبيه صلى الله عليه وسلم: { لا تَعْلَمُهُمْ نَحْنُ نَعْلَمُهُمْ } (2) .
Mengkhabarkan kepada kami Ma’mar dari Qatadah yang berkata mengenai ayat ini, “Apa maksudnya orang-orang yang berlagak sok tahu mengatakan si fulan di surga dan si fulan di neraka, padahal jika engkau tanya salah satu dari mereka tentang dirinya sendiri, ia akan berkata, “Tidak tahu”. Mereka lancang mulut mengatakan sesuatu yang para nabi pun tidak dapat mengatakannya (kecuali yang diwahyukan kepadanya -pen). Nabi Nuh alaihisalam berkata, “Bagaimana aku mengetahui apa yang mereka kerjakan”. Dan Nabi Syu’aib berkata, “Sisa (keuntungan) dari Allah adalah lebih baik bagimu jika kamu orang-orang yang beriman, dan aku bukanlah seorang penjaga (yang mengetahui) atas dirimu”. Sedang Allah berfirman kepada Nabi-Nya (Muhammad) dalam ayat ini : “Engkau tidak mengetahui mereka, Kami mengetahui (keadaan) mereka”.
Atsar ini dalam Tafsir Abdurrazaq (1/253).
Vonis ‘Allah Tidak Akan Mengazab Kita” Atau ‘Yang Masuk Surga Hanya Kita Saja”
Allah Ta’ala berfirman :
الَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الإثْمِ وَالْفَوَاحِشَ إِلا اللَّمَمَ إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ هُوَ أَعْلَمُ بِكُمْ إِذْ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الأرْضِ وَإِذْ أَنْتُمْ أَجِنَّةٌ فِي بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ فَلا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
“(Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu maha luas ampunanNya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa”. (An-Najm ayat 32).
Imam Ash-Shabuni (w. 449 H) meriwayatkan dengan sanadnya dalam Aqidah Salaf Ashabul Hadits no. 110 bahwa Ibn Mubarak suatu waktu datang ke kota. Salah seorang ahli ibadah tiba-tiba mendatanginya –yang diperkirakan penganut madzhab khawarij-, lalu berkata kepadanya, “Wahai Abu Abdurahman, apa pendapatmu terhadap seorang pezina, pencuri, dan peminum khamer?”. Beliau menjawab, “Aku tidak mengeluarkan mereka dari keimanan”. Maka lelaki itu menukas : “Wahai Abu Abdurahman, sudah tua-tua begini kamu malah jadi murji’ah (yang mengatakan iman terpisah dari amal -pen)”. Beliau menimpali, ”Tidak, justru kami bersebrangan dengan orang murji’ah. Mereka mengatakan: ‘Kebajikan-kebajikan kita pasti diterima, sedangkan kejahatan-kejahatan kita pasti diampuni’. Seandainya aku (Ibn Mubarak) tahu bahwa kebajikanku sudah diterima, niscaya aku bersaksi bahwa aku masuk jannah”.
Apa yang disebutkan oleh Abdullah ibn Mubarak ini menguatkan apa yang dikatakan oleh sebagian ulama salaf bahwa Khawarij mereka juga Murji’ah.
Diriwayatkan oleh Imam Al Lalika'i dalam Syarah Ushul I'tiqad Ahlus Sunnah wal Jamaah (7/1234 no. 2317) dengan sanadnya, Muhammad bin Ya'qub Al Asham berkata : "Pernah ada dua orang Khawarij thawaf di Baitullah maka salah seorang berkata kepada temannya : 'Tidak ada yang masuk Surga dari semua yang ada ini kecuali hanya aku dan engkau saja.' Maka temannya berkata : 'Apakah Surga yang diciptakan Allah seluas langit dan bumi hanya akan ditempati oleh aku dan engkau?' Temannya berkata : 'Betul.' Maka temannya tadi berkata : 'Kalau begitu, ambillah Surga itu untukmu.' Maka orang itu pun meninggalkan paham Khawarijnya."
Yahya ibn Abdurrahman ibn Hatib berkata, “Berkumpul para wanita mukminah di rumah Aisyah radhiyallahu’anha, lalu salah seorang diantara mereka berkata, “Demi Allah, Dia tidak akan mengadzab ku sama sekali (tidak akan masuk neraka). Sesungguhnya aku telah berbai’at kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam hanya untuk melakukan beberapa perkara yang semuanya telah aku lakukan”. Lalu diperlihatkan dalam mimpinya seseorang berkata kepadanya, “Engkaukah yang telah bersumpah atas nama Allah itu?. Lalu bagaimana dengan perkataanmu terhadap sesuatu yang tidak menjadi kepentinganmu?. Bagaimana dengan sikapmu yang menahan sesuatu yang tidak engkau butuhkan?. Maka wanita itu kembali kepada Aisyah lalu memberitahukan mimpi tersebut seraya bertaubat kepada Allah”.
Dikeluarkan oleh Al-Hakim (4/394) beliau tidak mengomentarinya demikian pula Adz-Dzahabi.
Tidak Ada Seorang Pun Yang Dimasukan Ke Surga Sebab Amalnya
Adapun ayat :
وَتِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتِي أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Artinya ”Dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan” (Az Zukhruf 72).
Maksudnya dengan karunia dan rahmat Allah, sebab tidak ada seorang pun yang masuk surga sebab amalnya. Sebagaimana hadits Aisyah radhiyallahu’anha bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wasalam bersabda :
سَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا فَإِنَّهُ لَا يُدْخِلُ أَحَدًا الْجَنَّةَ عَمَلُهُ قَالُوا وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ وَلَا أَنَا إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِي اللَّهُ بِمَغْفِرَةٍ وَرَحْمَةٍ
”Berupayalah untuk selalu benar, dekatilah dengan lembut dan berilah kabar gembira, karena sesungguhnya tidak ada seorang pun yang dimasukan ke surga sebab amalnya”. Para sahabat waktu itu bertanya, ”Tidak juga engkau wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab, ”Tidak juga aku, kecuali Allah meliputiku dengan ampunan dan rahmat(Nya)”.
Ahmad (6/273) no. 26386, Bukhari (5/2373) no. 6102 dan Muslim (4/2171) no. 2818.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, ”Dengan hadits ini (Nabi shallallahu ’alaihi wasalam) menafikan apa yang kadang menjadi asumsi (dugaan yang diterima sebagai dasar) jiwa manusia, bahwa balasan dari Allah Ta’ala itu sebagai imbalan dan upah, seperti imbalan atau upah yang terjadi diantara sesama manusia didunia”. Kemudian beliau menguraikannya lebih jauh dari berbagai sisi [lihat Jami Ar-Rasail (1/147)].
Sedangkan ayat diatas yang terkadang dijadikan hujjah oleh mereka –biasanya juga kelompok Mu’tazilah- Dan ayat-ayat lain yang serupa, maka sudah tidak diragukan lagi bahwa amal shalih merupakan faktor penyebab masuknya seseorang ke dalam surga. Huruf ’ba’ pada ayat ini bermakna ’sebab’. Akan tetapi, sudah diketahui bahwa sebab tidak sendirian memberikan keputusan. Demikian pula, sesungguhnya Allah lah yang menciptakan sebab musabab itu sehingga semuanya kembali sepenuhnya kepada karunia dan rahmat Allah Ta’ala.
Lihat Jami Ar-Rasail (145-152), Haadi Al-Arwah karya Ibnu Qayyim hal. 61, Syarah Aqidah ath-Thahawiyah (2/642-643), Asy-Syafaah Inda Ahlis Sunnah karya Dr. Nashir ibn Abdurrahman ibn Muhammad Al-Judai hal. 164-165.
Khawatir Amalannya Tidak Diterima Oleh Allah
Sebagaimana firman-Nya :
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
Artinya ”Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (Qs. Al-Mulk 2).
Pada ayat ini Allah tidak mengatakan ‘yang banyak amalnya’ tapi yang ‘baik’ amalnya. Sebab Allah hanya menerima amalan yang sesuai dengan sunnah saja, sebagaimana sabda Rasulullah shaalallahu’alaihi wasalam, “Barangsiapa berbuat [melakukan suatu perbuatan] yang tidak ada ajarannya dari kami maka [perbuatan] itu tertolak [tidak diterima oleh Allah]” [Bukhari no. 2697, Muslim no. 1718 dan lain-lain dari Aisyah radhiyallahu’anha].
Oleh sebab itu para ulama selalu khawatir amalannya tidak diterima oleh Allah.
Imam Ash-Shabuni (w. 449 H) meriwayatkan dengan sanadnya dalam Aqidah Salaf Ashabul Hadits no. 110 bahwa Ibn Mubarak suatu waktu datang ke kota. Salah seorang ahli ibadah tiba-tiba mendatanginya –yang diperkirakan penganut madzhab khawarij-, lalu berkata kepadanya, “Wahai Abu Abdurahman, apa pendapatmu terhadap seorang pezina, pencuri, dan peminum khamer?”. Beliau menjawab, “Aku tidak mengeluarkan mereka dari keimanan”. Maka lelaki itu menukas : “Wahai Abu Abdurahman, sudah tua-tua begini kamu malah jadi murji’ah (yang mengatakan iman terpisah dari amal -pen)”. Beliau menimpali, ”Tidak, justru kami bersebrangan dengan orang murji’ah. Mereka mengatakan: ‘Kebajikan-kebajikan kita pasti diterima, sedangkan kejahatan-kejahatan kita pasti diampuni’. Seandainya aku (Ibn Mubarak) tahu bahwa kebajikanku sudah diterima, niscaya aku bersaksi bahwa aku masuk jannah”.
Sifat seorang mukmin sejati seperti Ibn Mubarak ini telah diterangkan dalam Al-Qur’an surat Al-Mu’minun ayat 60,
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ
“Dan orang yang telah memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut”.
Dalam hadits diterangkan bahwa Aisyah bertanya kepada Rasulullah shaalallahu’alaihi wasalam :
أَهُمْ الَّذِينَ يَشْرَبُونَ الْخَمْرَ وَيَسْرِقُونَ ؟
“Apakah mereka (yang takut ini) orang-orang yang meminum khamer dan mencuri?”.
Nabi shaalallahu’alaihi wasalam bersabda,
لَا يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ وَلَكِنَّهُمْ الَّذِينَ يَصُومُونَ وَيُصَلُّونَ وَيَتَصَدَّقُونَ وَهُمْ يَخَافُونَ أَنْ لَا يُقْبَلَ مِنْهُمْ أُولَئِكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ
“Bukan wahai Binti Ash-Shiddiq, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang berpuasa, shalat dan bersedekah. Mereka takut kalau-kalau mereka tidak diterima. Mereka adalah orang-orang yang bersegera dalam kebaikan”.
Diriwayatkan oleh Ahmad (6/159, 205), Tirmidzi no. 3175, Al-Humaidi no. 293, Baihaqi dalam Ma’ruf Sunan wal Atsar no. 6369 dan lain-lain. Albani dalam Ash-Shahihah no. 162.
Syaikh Al-Albani kemudian berkata,
“Ketakutan seorang mukmin bila ibadah mereka tidak diterima bukan berarti mereka takut kalau Allah tidak memberi pahala kepada mereka. Tentu saja itu tidak sesuai dengan janji Allah Ta’ala kepada mereka seperti terdapat dalam firman-Nya : “Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, maka Allah akan memberikan kepada mereka dengan sempurna pahala amalan-amalan mereka…” (Qs Ali Imran 57). Bahkan Allah Ta’ala akan menambahkan pahala amalan mereka itu seperti yang disinggung dalam firman-Nya : “.. maka Allah akan menyempurnakan pahala mereka dan menambah untuk mereka sebagian dari karunia-Nya” (Qs. An-Nisa 173). Allah Ta’ala tidak akan mengingkari janji-Nya seperti termaktub dalam firman-Nya. Sesungguhnya soal penerimaan suatu ibadah itu tergantung kepada bagaimana pelaksanaannya, apakah sesuai dengan perintah Allah Ta’ala atau tidak. Sedangkan mereka tidak dapat memastikan bahwa mereka telah melaksanakan persis sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala. Bahkan mereka mengira bahwa mereka tidak dapat melaksanakan seperti itu. Oleh karena itu mereka takut kalau-kalau ibadah mereka tidak diterima. Seharusnya seorang mukmin selalu mempunyai perasaan demikian supaya ia senantiasa memperbaiki ibadahnya sebagimana yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala yakni dengan penuh ikhlas dan mengikuti Nabi-Nya shallallahu’alaihi wasalam. Inilah yang dimaksudkan oleh ayat : “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya’ (Qs. Al-Kahfi 110)


Mendapatkan Ilmu Dengan Membaca Sendiri
Lalu Mengamalkan dan Menyebarkannya

Membaca sendiri kitab–kitab/tulisan-tulisan, baik itu hadits, fatwa atau yang lainnya, tanpa guru yang punya sanad kepada penulisnya, diperbolehkan. Bahkan dia wajib mengamalkan isinya jika telah yakin akan kebenaran kitab/tulisan itu kepada penulisnya.
Ibn Qayyim rahimahullahu (w. 751 H) berkata,
”Peminta fatwa boleh melaksanakan catatan atau tulisan seorang mufti walaupun ia belum mendengar fatwa itu secara langsung dengan syarat ia harus mengetahui bahwa tulisan fatwa itu diyakini kebenarannya dari sang pemberi fatwa. Seseorang boleh menerima sabda Rasul berupa tulisan walaupun yang menulisnya adalah seorang hamba, wanita, anak kecil atau orang sakit. Dibolehkan juga bagi seseorang untuk bersandar pada apa yang ia dapati melalui tulisan berupa wasiat dari ayahnya atau suaminya, lalu memberikan warisan dengan bersandar pada wasiat yang ditulis itu tanpa perlu menghadirkan dua orang saksi. Begitu juga jika seseorang periwayat hadits menuliskan hadits kepada orang lain. Maka orang itu boleh bersandar pada tulisan hadits itu dalam melaksanakannya. Inilah yang dilakukan umat sejak zaman Nabi hingga zaman sekarang, walaupun ditentang oleh para penentang. Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam telah mengirim surat kepada raja dan seluruh umat untuk memeluk Islam. Surat-surat itu sudah menjadi hujjah bagi mereka walaupun mereka belum bertemu langsung dengan beliau. Suatu hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa kedudukan tulisan atau yang menyerupainya adalah sama dengan ungkapan”.
Hal ini pernah dicontohkan oleh Khalifah Umar radhiyallahu’anhu dimana beliau menetapkan hukum tentang diyat dengan denda 15 ekor unta dalam kasus ibu jari tangan. Ketika beliau mendapatkan catatan keluarga Amr ibn Hazm yang didalamnya ada sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam : ”... dan dalam satu jari disana ada (denda) 10 onta”. Maka beliau membatalkan hukumannya (denda 15 ekor unta) dan menerima ketetapan (10 onta) dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam melalui catatan itu, yang adalah surat fatwa dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam untuk penduduk Yaman.
Dalam ilmu riwayat meriwayatkan (ilmu hadits) dikenal istilah wijadah, yaitu : “Seorang rawi mendapat hadits atau kitab dari tulisan orang yang meriwayatkannya, sedang hadits-hadits ini tidak pernah si rawi mendengar atau menerima dari yang menulisnya’. Atau “Seseorang mendapatkan sebuah hadits atau kitab dengan tulisan seseorang disertai sanadnya”.
Dan wijadah ini diperbolehkan sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn Sholah (w. 643 H) rahimahullahu,
"Inilah yang mesti dilakukan di masa-masa akhir ini, karena seandainya pengamalan itu tergantung pada periwayatan maka akan tertutuplah pintu pengamalan hadits yang dinukil (dari Nabi) karena tidak mungkin terpenuhinya syarat periwayatan padanya".
Syaikh Al-Muhadits Ahmad Syakir (w. 1377 H) rahimahullahu mengatakan bahwa yang tepat itu wajib (mengamalkan hadits shahih yang diriwayatkan dengan al-wijadah).
Ini bukan termasuk bab ‘pencurian’ sama sekali. Adapun kutipan dari Syaikh Muhammad Mushtofa Azami ahli hadits dari India dalam bukunya yang terkenal Studies In Early Hadith Literature (Dirasat fi Al-Hadith an-Nabawi wa Tarikh Tadwinih), maka yang Syaikh maksud dengan ‘pencuri hadits’ adalah jika si penukil (rawi) tidak jujur dalam penukilannya.
Dalam halaman 520 (cetakan Indonesia) beliau berkata,
“Memang terkadang mereka tidak memperoleh izin dari penulis atau pengarangnya untuk meriwayatkan isi kitabnya. Akan tetapi dalam hal ini mereka jujur menuturkan hal itu”.
Lalu beliau menyebutkan contohnya.
Bahkan dalam takhrijnya untuk Shahih Ibn Khuzaimah, beliau menyerahkan pengoreksian kitab itu kepada Syaikh Al-Albani dan menyebut beliau dengan sebutan, “Fadhilatus Syaikh Al-Muhadits Al-Kabir Nasiruddin Al-Albani…” (1/6), padahal ia mengetahui bahwa Syaikh Al-Albani lebih banyak mendapatkan ilmunya (membaca) di perpustakaan seperti telah ma’ruf.
Jadi tidak boleh mengatakan kepada kaum muslimin zaman sekarang yang sebagian besar mendapatkan ilmu dengan membaca dan wijadah, sebagai pencuri, apalagi beranggapan bahwa ilmunya tidak sah, kalau diamalkan tidak akan diterima, kalau shalat maka shalatnya tidak sah, kalau puasa, puasanya tidak sah, kalau syahadat maka syahadatnya tidak sah sehingga Islamnya pun bisa menjadi tidak sah. Bahkan kalangan ghulat (ekstrim) berpendapat demikian untuk mengkafirkan kaum muslimin.
Jika tuduhan mereka benar, maka telunjuk tafkir tidak hanya terarah kepada umat Islam di zaman sekarang, justru terarah juga kepada banyak muhaditsin (para ulama ahli hadits) sejak dahulu, yakni yang telah memperbolehkannya bahkan memegangnya dengan kuat jika kitab yang diwijadahi yakin benar-benar berasal dari pengarangnya.
Imam Abdullah ibn Ahmad ibn Hambal rahimahullahu (w. 290 H) yang merupakan satu-satunya penyambung sanad Musnad ayahnya (Imam Ahmad ibn Hambal rahimahullahu) banyak mendapatkan hadits dari ayahnya secara wijadah.
Beliau sering berkata :
وَجَدْتُ فِى كِتَابِ أَبِى بِخَطِّ يَدِهِ
Artinya : “Aku menemukan (wijadah) dari kitab bapakku dengan tulisan tangannya sendiri”.
Akan tetapi tidak ada diantara muhadits yang menuduh Imam Abdullah ibn Hambal sebagai pencuri, dan tidak ada yang menolak keabsahan Musnad Ahmad kecuali orang yang menyimpang. Musnad Ahmad telah dikutip, dijadikan dalil, ditelaah dan diamalkan oleh para muhadits sepanjang zaman. Dan Musnad Ahmad ini telah kita warisi dan kita dapatkan, baik itu secara wijadah maupun yang selain itu.
Silahkan anda menyimak Musnad Ahmad, maka akan banyak anda temukan perkataan semisal ini, bahkan dari selain Imam Abdullah.
Misalnya dalam Musnad (5/396) no. 23406, terdapat riwayat yang tidak sesuai dengan kaidah ‘mangkul’ :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا عَلِىُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا مُعَاذٌ - يَعْنِى ابْنَ هِشَامٍ - قَالَ وَجَدْتُ فِى كِتَابِ أَبِى بِخَطِّ يَدِهِ وَلَمْ أَسْمَعْهُ مِنْهُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِى مَعْشَرٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ النَّخَعِىِّ عَنْ هَمَّامٍ عَنْ حُذَيْفَةَ أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « فِى أُمَّتِى كَذَّابُونَ وَدَجَّالُونَ سَبْعَةٌ وَعِشْرُونَ مِنْهُمْ أَرْبَعُ نِسْوَةٍ وَإِنِّى خَاتَمُ النَّبِيِّينَ لاَ نَبِىَّ بَعْدِى .
Artinya : Menceritakan kepada kami Abdullah, menceritakan kepada saya Bapakku, menceritakan kepada kami Ali ibn Abdullah, menceritakan kepada kamu Mu’adz yakni Ibn Hisyam, dia berkata : Aku menemukan dalam kitab bapakku dengan tulisan tangannya dan aku tidak mendengar hadits ini darinya [وَجَدْتُ فِى كِتَابِ أَبِى بِخَطِّ يَدِهِ وَلَمْ أَسْمَعْهُ مِنْه]. Dari Qatadah dari Abi Ma’syar dari Ibrahim An-Nakha’i dari Hamam dari Hudzaifah, sesungguhnya Nabi shollallahu’alaihi wasallam bersabda : “Dalam umatku akan ada para Pendusta dan Dajjal-Dajjal berjumlah duapuluh tujuh, dan diantara mereka ada empat wanita. Dan saya adalah nabi terakhir, tidak ada lagi nabi setelahku”.
Hadits ini telah disepakati keshahihannya oleh para Huffazh dan ahli-ahli hadits kenamaan dan mereka juga mengamalkannya, membahasnya lalu mengeluarkan hukum darinya. Bahkan tidak hanya Imam Ahmad (w. 241 H) yang menerima dan meriwayatkannya melainkan juga diriwayatkan oleh:
1. Al-Bazzar (w. 292 H) sebagaimana dikatakan Imam Al-Haitsami (w. 807 H) dalam Majma Az-Zawaid (7/332) : “Diriwayatkan oleh Ahmad, Thabrani dalam Al-Kabir dan Al-Ausath, dan Al-Bazzar, dan rijal Al-Bazzar rijal shahih”.
2. Ath-Thahawi (w. 321 H) dalam Musykilul Atsar (4/104),
3. Thabrani (w. 360 H) dalam Mu’jam Al-Kabir (3/169) no. 3026 dan Al-Ausath (5/327),
4. dan Abu Nu’aim (w. 430 H) dalam Hilyatul Auliya (4/179).
Padahal, Mu’adz salah satu rawi hanya membaca dari kitab Ayahnya tidak mendengar langsung darinya.
Bahkan komentator Musnad Ahmad, Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata: “Isnadnya shahih, rijalnya tsiqah, rijal shahih”.
Wijadahnya Mu’adz ibn Hisyam ini telah diriwayatkan oleh banyak muhadits selain riwayat diatas, misalkan dalam hadits tentang shalat jum’at yang berbunyi :
احْضُرُوا الذِّكْرَ وَادْنُوا مِنْ الْإِمَامِ فَإِنَّ الرَّجُلَ لَا يَزَالُ يَتَبَاعَدُ حَتَّى يُؤَخَّرَ فِي الْجَنَّةِ وَإِنْ دَخَلَهَا
Artinya : “Dan datangilah dzikir (shalat/khutbah jum’at), dan mendekatlah kepada imam karena sesungguhnya seorang laki-laki tidak henti-hentinya menjauh dari imam sehingga dia diakhirkan dalam memasuki surga, walau (pada akhirnya juga) memasukinya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (1/289) no. 1108 beliau berkata :
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ قَالَ وَجَدْتُ فِي كِتَابِ أَبِي بِخَطِّ يَدِهِ وَلَمْ أَسْمَعْهُ مِنْهُ قَالَ قَتَادَةُ عَنْ يَحْيَى بْنِ مَالِكٍ عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ…
Artinya : menceritakan kepada kami Ali Ibn Abdullah, menceritakan kepada kami Mu’adz ibn Hisyam, beliau berkata, “Aku menemukan dalam kitab bapakku dengan tulisan tangannya dan aku tidak mendengar hadits ini dari beliau”. Beliau berkata : Qatadah dari Yahya ibn Malik dari Samurah ibn Jundub…(dan seterusnya sampai akhir hadits).
Saya katakan : “Bukankah mereka telah mendengar dan membaca hadits ini dalam Sunan Abu Dawud? , kenapa mereka tidak mengambil pelajaran?”.
Hadits ini dikeluarkan pula oleh :
1. Ahmad (5/11) no. 20130,
2. Al-Hakim (1/427) no. 1068,
3. Baihaqi (3/238) no. 5722.
Kemudian walaupun dengan wijadah tetapi Imam Al-Hakim berkata, “Shahih berdasarkan syarat Muslim” dan disepakati Adz-Dzahabi (1/289).
Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam ash-Shahihah no. 365.
Al-Albani kemudian menyebutkan riwayat serupa yang redaksinya bertentangan dengan wijadahnya Mu’adz, lalu beliau mendha’ifkannya sebab walaupun hadits yang bertentangan itu diriwayatkan secara sema’ (pendengaran), tapi perawi yang meriwayatkannya dha’if yaitu Hakam ibn Abdul Malik.
Hadits yang dha’if ini diriwayatkan oleh Ahmad (5/10) no. 20124, Baihaqi dalam Sunan (3/238) no. 5724 dan dalam Syu’ibul Iman (3/106) no. 3018, Thabrani dalam Mu’jam Ash-Shaghir (1/216) no. 346 dan Ad-Dailami (1/107) no. 361.
Hadits dari jalan sema’an ini telah dilemahkan pula oleh :
1. Al-Haitsami (w. 807 H) dalam Al-Majma (2/177), beliau berkata, “Didalamnya ada Hakam ibn Abdul Malik, dia ini dha’if”.
2. Al-Mundziri (w. 656 H) dalam At-Targhib (1/255)
3. Ath-Thabrani
4. dan Al-Ashbahani sebagaimana dituturkan Al-Albani.
Ini menegaskan kepada kita bahwa wijadah bisa diterima asal ada keyakinan pada yang diwijadahi, bahkan yang menjadi tolak ukur riwayat diatas adalah kejujuran rawinya sebagaimana yang nampak. Mu’adz ibn Hisyam adalah orang yang diterima haditsnya dan diyakini kejujurannya oleh para ahli hadits, berbeda dengan Hakam ibn Abdul Malik walaupun ia mengaku telah mendengar (sema’) tapi dia rawi yang dha’if, maka riwayatnya tetap ditolak.
Maka perhatikanlah masalah ini.
Imam Daruquthni (w. 385 H) menerima riwayat wijadah dalam Sunannya (no. 307), beliau berkata :
..وَحَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ الْحَسَنِ بْنِ يُوسُفَ الْمَرْوَرُّوذِىُّ قَالَ وَجَدْتُ فِى كِتَابِ جَدِّى حَدَّثَنَا أَبُو يُوسُفَ الْقَاضِى…
.. Dan menceritakan kepada kami Al-Hasan ibn Sa’id ibn Al-Hasan ibn Yusuf al-Marwarudzi, beliau berkata, “Aku menemukan (wijadah) dalam kitab Kakekku, menceritakan kepada kami Yusuf al-Qadhi…”.
Artinya Hasan al-Marwarudzi tidak mendengar langsung dari kakeknya itu melainkan dapatkannya secara wijadah, sebab ketika ia dapatkan secara sama’, dia berkata seperti pada no. 1651 dalam Sunan Ad-Daruquthni:
وَجَدْتُ فِى كِتَابِ جَدِّى وَحَدَّثَنِى بِهِ أَبِى عَنْ جَدِّى حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ …
“Aku menemukan dalam kitab kakekku dan telah menceritakan kepada ku hadits ini bapakku dari kakekku, menceritakan kepada kami Baqiyah…”
Pada hadits yang ini Hasan al-Marwarudzi telah mendapatkan baik secara wijadah dari kitab kakeknya maupun secara sama’ melalui ayahnya.
Bahkan para ahli hadits yang menerima riwayat wijadah dalam kitabnya lebih banyak dari yang belum kami sebutkan, diantaranya akan kami urutkan menurut tahun kelahirannya :
1. Abdurrazaq (w. 211 H) dalam Al-Mushanaf no. 1134, 4335, 9473 dan lainnya
2. Ibn Sa’ad (w. 230 H) dalam Thabaqah (1/70), dan lainnya
3. Ibn Abi Syaibah (w. 235 H) dalam Mushanaf (1/344/4) dan (6/304/5).
4. Abd ibn Hamid (w. 249 H) dalam Musnad (1/193) no. 182
5. Ibn Abi Dunya (w. 281 H) dalam Sifatul Jannah no. 154
6. Abu Ya’la (w. 307 H) dalam Al-Musnad (14/194) no. 6759
7. At-Thabari (w. 310 H) dalam Tahdzib Al-Atsar (3/42) no. 650.
8. Abu Awanah (w. 316 H) dalam Mustakhrij-nya (5/361) no. 2030
9. Ibn Abi Hatim (w. 327 H) dalam Tafsir no. 6843, 7537, 14059, dan 16412.
10. Ibn Sunni (w. 364 H) dalam Amal Yaum Wal Lailah (2/305) no. 422
11. Al-Lalikai (w. 418 H) dalam Al-Ushul (1/455) no. 383 dan lainnya
12. Ibn Abdil Bar (w. 463 H) dalam Jami Al-Bayan Al-Ilmu (1/234) no. 218
13. Ibn Atsakir (w. 571 H) dalam Tarikh Dimasyq (7/82), (9/434) dan lainnya
14. Dan lain-lain.
*****
Yang paling aneh lagi adalah kenapa mereka yang ekstrim itu, masih menerima riwayat Al-Bazzar dan mengamalkannya –jika mereka konsisten dengan prinsipnya- yaitu hadits tentang dua khutbah pada khutbah Ied.
Dikeluarkan oleh Al-Bazzar dalam Musnad no. 1116 (no. 53 - Musnad Sa’ad) atau dalam Bahrul Zakhr (3/355) no. 998, beliau berkata:
حدثنا عبدالله بن شبيب قال نا أحمد بن محمد بن عبد العزيز قال وجدت في كتاب أبي قال حدثني مهاجر بن مسمار عن عامر بن سعد عن أبيه أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى العيد بغير أذان ولا إقامة وكان يخطب خطبتين قائما يفصل بينهما بجلسة وهذا الحديث لا نعلمه يروى عن سعد إلا من هذا الوجه بهذا الإسناد
Artinya : Menceritakan kepada kami Abdullah ibn Syabib, dia berkata: mengkhabarkan kepada kami Ahmad ibn Muhammad ibn Abdul Aziz, dia berkata: aku menemukan (wijadah) didalam kitab bapakku, beliau berkata: menceritakan kepada kami Muhajir ibn Masamar dari Amar ibn Sa’ad dari Bapaknya (Sa’ad). Sesungguhnya Nabi shollallahu’alaihi wasallam shalat ied dengan tanpa adzan dan tanpa iqamat dan biasa berkhutbah dua kali, diantara keduanya dipisahkan dengan duduk”.
[Kemudian Al-Bazzar berkata: ] “Dan hadits ini tidak diketahui diriwayatkan dari Saad kecuali melalui riwayat ini dengan isnad ini pula”.
Saya katakan : Bukankah hadits ini tidak sesuai dengan syarat mendengar langsung dari guru karena rawi (Ahmad ibn Muhammad) hanya mendapat hadits secara wijadah (membaca dari kitab) milik ayahnya. Lalu kenapa mereka masih mengamalkannya ?.
Ini namanya berdalil dengan sekehendak hatinya, dan agama kita tidak dibangun dengan itu.
*****
Sesungguhnya kaidah batil yang mereka buat itu sebagai belenggu bagi pengikut. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halabi ,
“Seorang Imam tsiqah, Ayub As-Sakhtiyani pernah berkata : "Jika engkau ingin mengerti kesalahan gurumu, maka duduklah engkau untuk belajar kepada orang lain".
Justru karena inilah, maka kaum hizbiyun (aktifis fanatik terhadap golongan) melarang pengikut-pengikutnya untuk menimba ilmu dari orang-orang selain golongan atau simpatisannya.
Kalaupun sikap mereka menjadi lunak, namun mereka akan memberikan kelonggaran dengan banyak syarat serta ikatan-ikatan yang njelimet, supaya akal-akal pikiran para pengikutnya tetap tertutup bila mendengar hal-hal yang bertentangan dengan jalan mereka atau mendengar bantahan terhadap bid'ah mereka”.
*****
Dahulu Umar Ibn Khattab radhiyallahu’anhu ketika sampai padanya ayat : “Katakanlah : Hai hamba-hamba Ku yang melampaui batas terhadap mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah”, serta ayat-ayat setelahnya”. Beliau berkata :
فَكَتَبْتهَا بِيَدِي فِي صَحِيفَةٍ وَبَعَثْت بِهَا إلَى هِشَامِ بْنِ الْعَاصِي قَالَ فَقَالَ هِشَامُ بْنُ الْعَاصِي : فَلَمّا أَتَتْنِي جَعَلْت أَقْرَؤُهَا بِذِي طُوًى ، أُصَعّدُ بِهَا فِيهِ وَأُصَوّبُ وَلَا أَفْهَمُهَا ، حَتّى قُلْت : اللّهُمّ فَهّمْنِيهَا . قَالَ فَأَلْقَى اللّهُ تَعَالَى فِي قَلْبِي….

Artinya : “Lalu aku menulisnya dengan tanganku pada sebuah lembaran, lantas aku mengirimkannya kepada Hisyam ibn al-Ash. Hisyam berkata, “Maka tatkala ayat itu datang, aku mulai membacanya di bukit Dzi Thuwa sambil naik turun, namun aku tidak memahaminya. Sehingga aku berkata, “Ya Allah pahamkanlah aku ayat ini”. Ia (Hisyam) berkata, “Lalu Allah Ta’ala memberikan pemahaman dalam hatiku….”.
Dalam atsar ini nampak Umar dan Hisyam mengamalkan wijadah atau mukatabah dan Hisyam bahkan tidak memahaminya kecuali setelah Allah beri pemahaman kepadanya.
Singkatnya dua orang shahabat besar ini menyelisihi kaidah kaum ghuluw. Dan para shahabat itu paham bahwa belajar beragam caranya, tidak harus dengan kaidah kaum ghuluw (mangkul).
Imam Al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H) dalam Al-Kifayah fi Ilmi ar-Riwayah halaman 354, telah menyebutkan pasal khusus tentang masalah ini. Disana disebutkan beberapa riwayat yang menguatkan kebolehan wijadah, diantaranya :
أخبرنا الحسن بن أبي بكر بن شاذان قال أنا أحمد بن سلمان النجاد الفقيه قال ثنا إسماعيل بن إسحاق قال ثنا إسحاق بن محمد الفروي قال ثنا عبد الله بن عمر عن نافع عن بن عمر أنه وجد في قائم سيف عمر بن الخطاب رضي الله عنه صحيفة فيها ليس فيما دون خمس من الإبل صدقة فإذا كانت خمسا ففيها شاة …
Artinya : Mengkhabarkan kepada kami Al-Hasan ibn Abu Bakr ibn Syadzan, beliau berkata : mengkhabarkan kepada kami Ahmad ibn Sulaiman An-Najd Al-Faqihi, beliau berkata, menceritakan kepada kami Ismail ibn Ishaq, beliau berkata, menceritakan kepada kami Ishaq ibn Muhammad Al-Farawi, beliau berkata, menceritakan kepada kami Abdullah ibn Umar dari Nafi dari Ibn Umar. Sesungguhnya beliau mendapatkan pada gagang pedang peninggalan Umar ibn Khattab sebuah lembaran (tertulis didalamnya) : 'Tidak ada zakat pada unta yang jumlahnya kurang dari lima, kalau jumlahnya lima maka zakatnya satu kambing jantan…
Lalu Ibnu Umar radhiyallahu’anhu mengamalkannya dan menjadikannya hukum padahal beliau tidak mendengarnya langsung dari ayahnya, yakni menurut atsar ini Ibn Umar radhiyallahu’anhu mengamalkan wijadah.
Ini terjadi dikalangan para sahabat radhiyallahu’anhum ajmain. Demikian pula dikalangan Pembesar Tabi’in dan orang-orang setelahnya.
Puncak dari semua itu adalah pujian dari Nabi shollallahu’alaihi wasallam terhadap orang-orang yang justru mereka cela dengan istilah ‘pencuri’ atau orang-orang yang ‘tidak sah mendapatkan ilmunya”, walaupun ilmunya benar sehingga tidak sah shalatnya, puasanya, zakatnya bahkan syahadatnya, hanya karena ilmu mereka didapat dari membaca, seperti yang akan kami sebutkan berikut ini.
Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam bersabda,
" مَا يَمْنَعُكُمْ مِنْ ذَلِكَ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ يَأْتِيكُمُ الْوَحْيُ مِنَ السَّمَاءِ ، قَوْمٌ يَأْتِيهِمْ كِتَابٌ بَيْنَ لَوْحَيْنِ فَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَعْمَلُونَ بِمَا فِيهِ ، أُولَئِكَ أَعْظَمُ مِنْكُمْ أَجْرًا ، أُولَئِكَ أَعْظَمُ مِنْكُمْ أَجْرًا ".
Artinya : “Apa yang menghalangi kalian (sahabat) untuk beriman sementara Rasulullah ada disisimu dan wahyu masih turun dari langit ditengah-tengah kamu. Tetapi ada kaum yang akan datang sesudahmu, mereka didatangi kitab yang sudah terhimpun diantara kedua sampulnya, lalu mereka beriman kepadanya dan mengamalkan ajaran yang terkandung didalamnya. Mereka lebih besar pahalanya daripada kalian, Mereka lebih besar pahalanya daripada kalian, Mereka lebih besar pahalanya daripada kalian”.
Dalam riwayat lain : Nabi shollallahu’alaihi wasallam bersabda: "Makhluk mana yang menurut kalian paling ajaib imannya?".
Mereka mengatakan: "Para malaikat."
Nabi shollallahu’alaihi wasallam mengatakan: "Bagaimana mereka tidak beriman sedang mereka disisi Rabb mereka?".
Merekapun (para sahabat) menyebut para Nabi, Nabi shollallahu’alaihi wasallam pun menjawab: "Bagaimana mereka tidak beriman sedang wahyu turun kepada mereka".
Mereka mengatakan: "Kalau begitu kami?".
Nabi shollallahu’alaihi wasallam menjawab: "Bagaimana kalian tidak beriman sedang aku ditengah-tengah kalian."
Mereka mengatakan: "Maka siapa wahai Rasulullah?".
Beliau shollallahu’alaihi wasallam menjawab:
ألا إن أعجب الخلق إلي إيمانا لقوم يكونون من بعدكم يجدون صحفا فيها كتاب يؤمنون بما فيها
Artinya : "Orang-orang yang ajaib imannya adalah orang-orang yang datang setelah kalian, mereka mendapatkan lembaran-lembaran Kitab lalu mereka beriman dengan apa yang di dalamnya".
Saya berkata : Adapun jika mereka membantah bahwa sabda Nabi shallallahu’alaihi wasalam itu terjadi disaat darurat, maka yang demikian tidak benar, sebab tidak ada sama sekali petunjuk dalam hadits ini bahwa itu terjadi disaat darurat. Bahkan para imam terdahulu pun menggunakan hadits diatas sebagai dalil bagi wijadah, diantara mereka adalah Imam Ibn Katsir, As-Sayuthi, Al-Bulqini dan lainnya.
Renungkanlah ya akhi !.
Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam telah memberitahukan bagaimana pahala menyebarkan buku yang bermanfaat akan terus mengalir, beliau shallallahu’alaihi wasalam bersabda :
إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا لِابْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ
Artinya : ”Sesungguhnya diantara amalan-amalan baik yang mengikuti seorang mukmin sepeninggalnya adalah : ”Ilmu yang diajarkannya, anak shalih yang ditinggalkan, mushaf (kitab) yang ia wariskan, mesjid yang ia bangun, rumah yang ia bangun untuk ibn sabil, sungai yang ia alirkan atau shadaqah yang ia keluarkan dari hartanya semasa sehat dan hidup, akan mengikutinya sepeninggalnya”.
Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam telah memperingatkan bagaimana kesudahan orang-orang yang tidak mau mengamalkan kitab-kitab bermanfaat yang dibacanya. Yakni ketika seseorang ditanya oleh para malaikat dialam kubur:
فَيَقُولَانِ لَهُ: مَنْ رَبُّكَ ؟ ) فَيَقُولُ هَاهْ هَاهْ لَا أَدْرِي ، فيقول له: ما دينك؟ فيقول: هَاهْ هَاهْ لَا أَدْرِي)، فيقولن: فما تقول في هَذَا الرَّجُلُ الَّذِي بُعِثَ فِيكُمْ) فلا يهتدي لاسمه، فيقال: محمد! فيقول) هاه هاه لا أدري (سمعت الناس يقولون ذاك! قال: فيقال: لَا دَرَيْتَ)، (وَلَا تَلَوْتَ)، فَيُنَادِي مُنَادٍ مِنْ السَّمَاءِ أَنْ كَذَبَ فَافْرِشُوا لَهُ مِنْ النَّارِ وَافْتَحُوا لَهُ بَابًا إِلَى النَّارِ
”Siapa Rabb mu?”. (Maka ia menjawab: ”Hah hah, saya tidak tahu”. Keduanya bertanya lagi: ”Apa agamamu?”. Ia menjawab : ”Hah hah saya tidak tahu”). Lalu keduanya bertanya lagi: ”Apa perkataan mu tentang orang yang diutus Allah kepada kalian itu?”. (Ia tidak tahu namanya. Lalu dikatakan kepadanya: ’Muhammad !”. Maka ia menjawab:) ”Hah hah saya tidak tahu (saya mendengar orang mengatakan begitu”. Lalu dikatakan kepadanya : ”Engkau tidak tahu?) (Dan tidak membaca?!”). Maka penyeru yang menyeru dari langit dengan mengatakan : ”Ia dusta. Maka bentangkanlah permadani dari neraka dan bukakanlah untuknya pintu ke neraka”.
Jadi tidak ada alasan engkau mengatakan : ”Saya tidak akan mengamalkannya, karena saya belum mangkul”.
Bahkan Kitabullah telah menjadi hujjah, walaupun seseorang hanya mendapatkannya lewat membaca.
وأُوحِيَ إليّ هَذَا القُرآنُ لأُنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ
Artinya : "Dan diwahyukan kepadaku Al-Qur’an ini untuk aku peringatkan kalian dengannya dan siapa saja yang Al-Qur’an sampai padanya" [Qs. Al An'am:19].
Sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu ketika menafsirkan ayat ini berkata :
مَنْ بَلَغَهُ هَذَا الْقُرْآنُ، فَهُوَ لَهُ نَذِيرٌ ]مِنَ النَّاسِ["
Artinya : "Dan siapa saja yang sampai kepadanya Al-Qur’an ini, maka Al-Qur’an sebagai pemberi peringatan baginya [dari manusia]".

---- akhir bagian kedua ----

Hadits Dha’if dan Maudhu

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Artinya : Barangsiapa berdusta atas (nama)ku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari Neraka.”
Hadits ini berderajat mutawatir, diriwayatkan lebih dari 60 (enam puluh) orang Shahabat radhiyallahu’anhum jami’an. Dan hadits di atas pun telah dicatat oleh lebih dari 20 (dua puluh) Ahli Hadits, di antaranya: Imam Ahmad, al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Darimi, dan lainnya.
Oleh sebab itu para ulama sepakat akan tidak bolehnya membawakan dan mengamalkan hadits maudhu, kecuali untuk memperingatkannya.
Adapun tentang hadits dha’if, maka ini terbagi menjadi dua macam:
a. Hadits yang sangat dha’if.
b. Hadits yang tidak terlalu dha’if.
Tidak ada perselisihan di antara para ulama dalam menolak hadits yang terlalu dha’if. Hanya ada perselisihan di antara ulama tentang membawakan/memakai hadits yang tidak terlalu dha’if, yakni untuk: Fadha-ilul A’mal (keutamaan amal), At-Targhib (memotivasi), At-Tarhib (menakuti), Kisah-kisah, Do’a dan dzikir, yaitu hadits-hadits yang berisi lafazh-lafazh do’a dan dzikir.
Akan tetapi ini perlu dikritisi, Syaikh Abu Syammah berkata:
وهذا عند المحققين من أهل الحديث وعند علماء الأصول والفقه خطأ بل ينبغي أن يبين أمره إن علم وإلا دخل تحت الوعيد في قوله " صلى الله عليه وسلم " : " من حدث عني بحديث يرى أنه كذب فهو أحد الكاذبين "
“Ini (Perbuatan membawakan hadits-hadits dha’if) bagi orang-orang yang mengerti hadits, ulama’-ulama’ ushul dan pakar-pakar fiqih adalah suatu kesalahan. Bahkan jika ia tahu, kelemahan hadits itu perlu dijelaskan. Jika tidak, maka ia termasuk orang-orang yang diancam oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabdanya: ‘Barangsiapa yang menyampaikan hadits dariku, dia tahu bahwa itu dusta, maka dia termasuk salah seorang diantara dua pendusta”.
Ada dua golongan ulama yang terkena ancaman hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, yaitu: Ulama yang tahu ke-dha’if-an hadits dan yang tidak tahu. Dalam masalah ini ada dua hukum:
Pertama : jika ulama tersebut tahu tentang lemahnya hadits-hadits yang dibawakan itu, tetapi ia tidak menerangkan kelemahannya, maka ia termasuk pendusta, penipu (curang) terhadap kaum Muslimin dan termasuk yang diancam oleh hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas.
Imam Ibnu Hibban berkata:
في هذا الخبر دليل على أن المحدث إذا روى ما لم يصح عن النبي مما تقول عليه وهو يعلم ذلك يكون كأحد الكاذبين على أن ظاهر الخبر ما هو أشد قال " صلى الله عليه وسلم " : " من روى عني حديثا وهو يرى أنه كذب . . " - ولم يقل : إنه تيقن أنه كذب - فكل شاك فيما يروي أنه صحيح أو غير صحيح داخل في ظاهر خطاب هذا الخبر "

“Di dalam kabar ini (hadits di atas), ada dalil yang menunjukkan bahwa seseorang yang menyampaikan hadits atau meriwayatkannya yang tidak sah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu menyampaikan atau meriwayatkan hadits yang lemah atau yang diada-adakan oleh manusia sedang dia tahu bahwa itu dusta, maka dia termasuk salah satu dari dua pendusta. Dzahir hadits menunjukan lebih keras lagi dari hal itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa meriwayatkan sebuah hadits dariku padahal dia tahu itu adalah dusta…”. Nabi tidak mengatakan : ‘Dia yakin bahwa itu dusta”. Maka setiap orang yang ragu terhadap keshahihan apa yang diriwayatkannya termasuk ke dalam sasaran hadits diatas”.
Imam Ibnu Abdil Hadi menukil perkataan Ibnu Hibban ini dalam kitab ash-Sharimul Mankiy (hal. 165-166) dan beliau menyetujuinya.
Kedua : jika ulama itu tidak mengetahui kelemahan hadits (riwayat), tetapi dia masih menyampaikan (meriwayatkan) juga, maka dia termasuk orang-orang yang berdosa, karena dia telah berani menisbatkan (menyandarkan) hadits atau riwayat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa ia mengetahui sumber hadits (riwayat) itu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: artinya ‘Cukuplah seorang dikatakan berdusta apabila ia menyampaikan tiap-tiap apa yang ia dengar”. [Muslim no. 5].
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman: “Artinya : Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” [Al-Israa’: 36]
Imam Ibnu Hibban berkata dalam kitab adh-Dhu’afa’ (I/9):
" في هذا الخبر زجر للمرء أن يحدث بكل ما سمع حتى يعلم علم اليقين صحته "
“Di dalam hadits ini ada ancaman bagi seseorang yang menyampaikan setiap apa yang dia dengar sehingga ia tahu dengan seyakin-yakinnya bahwa hadits atau riwayat itu shahih.”
Imam an-Nawawi pernah berkata: “Bahwa tidak halal berhujjah bagi orang yang mengerti hadits hingga ia tidak tahu, dia harus bertanya kepada orang yang ahli”.
Adapun apa yang dinyatakan Imam an-Nawawi rahimahullah tentang adanya kesepakatan ulama yang membolehkan memakai hadits dha’if untuk fadha-ilul a’mal ini merupakan satu kekeliruan yang nyata. Sebab, ada ulama yang tidak sepakat dan tidak setuju digunakannya hadits dha’if untuk fadhaa-ilul a’maal. Ada beberapa pakar hadits dan ulama-ulama ahli tahqiq yang berpendapat bahwa hadits dha’if tidak boleh dipakai secara mutlak, baik hal itu dalam masalah ahkam (hukum-hukum) maupun fadhail.
Syaikh Muhammad Jamaluddin al-Qasimi menyebutkan dalam kitabnya, Qawaaidut Tahdits:
“Hadits-hadits dha’if tidak bisa dipakai secara mutlak untuk ahkaam maupun untuk fadhailul a’mal, hal ini disebutkan oleh Ibnu Sayyidin Nas dalam kitabnya, ‘Uyunul Atsar, dari Yahya bin Ma’in dan disebutkan juga di dalam kitab Fathul Mughits. Ulama yang berpendapat demikian adalah Abu Bakar Ibnul Araby, Imam al-Bukhari, Imam Muslim dan Imam Ibnu Hazm”.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berpendapat: “Pendapat inilah yang benar dan aku tidak meragukan tentang kebenarannya”.
Karena beberapa hal :
1. Hadits dha’if hanyalah mendatangkan sangkaan yang sangat lemah, orang mengamalkan sesuatu dengan prasangka, bukan sesuatu yang pasti diyakini. Firman Allah: “Artinya : Sesungguhnya sangka-sangka itu sedikit pun tidak bisa mengalahkan kebenaran.” [Yunus: 36]. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Artinya : Jِauhkanlah dirimu dari sangka-sangka, karena sesungguhnya sangka-sangka itu sedusta-dusta perkataan.” [HR. Al-Bukhari (no. 5143, 6066) dan Muslim (no. 2563) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]
2. Hadits dha’if itu masih meragukan, apakah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau bukan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Artinya Tinggalkanlah apa-apa yang meragukan kamu (menuju) kepada yang tidak meragukan.” [HR. Ahmad (I/200), at-Tirmidzi (no. 2518) dan an-Nasa-i (VIII/327-328), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir (no. 2708, 2711), dan at-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih.”]
3. Penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tentang perkataan Imam Ahmad,
“Apabila kami meriwayatkan masalah yang halal dan haram, kami sangat keras (harus hadits yang shahih), tetapi apabila kami meriwayatkan masalah fadhaa-il, targhiib wat tarhiib, kami tasaahul (bermudah-mudah).” Kata Syaikhul Islam: “Maksud perkataan ini bukanlah menyunnahkan suatu amalan dengan hadits dha’if yang tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, karena masalah sunnah adalah masalah syar’i, maka yang harus dipakai pun haruslah dalil syar’i. Barangsiapa yang mengabarkan bahwa Allah cinta pada suatu amalan, tetapi dia tidak bawakan dalil syar’i (hadits yang shahih), maka sesungguhnya dia telah mengadakan syari’at yang tidak diizinkan oleh Allah, sebagaimana dia menetapkan hukum wajib dan haram”.
4. Syaikh Ahmad Muhammad Syakir menerangkan tentang maksud perkataan Imam Ahmad, Abdurahman bin Mahdi dan ‘Abdullah Ibnul Mubarak, beliau berkata,
“Bahwa yang dimaksud tasaahul (bermudah-mudah) di sini ialah mereka mengambil hadits-hadits hasan yang tidak sampai ke derajat shahih untuk masalah fadhaa-il. Karena istilah untuk membedakan antara hadits shahih dengan hadits hasan belum terkenal pada masa itu. Bahkan kebanyakan dari ulama mutaqadimin (ulama terdahulu) hanyalah membagi derajat hadits itu kepada shahih atau dha’if saja”.
Kemudian kalau mereka bersikeras untuk mengamalkan hadits dha’if maka ada syarat-syarat tertentu yang harus mereka penuhi, sebagaimana disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani, beliau berkata: “Sudah masyhur di kalangan ulama bahwa ada di antara mereka orang-orang yang tasaahul (bermudah-mudah/menggampang-gampangkan) dalam membawakan hadits-hadits fadhaa-il kendatipun banyak di antaranya yang dha’if bahkan ada yang maudhu’ (palsu). Oleh karena itu wajiblah atas ulama untuk mengetahui syarat-syarat dibolehkannya beramal dengan hadits dha’if, yaitu ia (ulama) harus meyakini bahwa itu dha’if dan tidak boleh dimasyhurkan agar orang tidak mengamalkannya yakni tidak menjadikan hadits dha’if itu syari’at atau mungkin akan disangka oleh orang-orang jahil bahwa hadits dha’if itu mempunyai Sunnah (untuk diamalkan)”.
Al-Hafizh as-Sakhawy, murid al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany, beliau berkata: “Aku sering mendengar syaikhku (Ibnu Hajar) berkata: “Syarat-syarat bolehnya beramal dengan hadits dha’if:
1. Hadits itu tidak sangat lemah. Maksudnya, tidak boleh ada rawi pendusta, atau dituduh berdusta atau hal-hal yang sangat berat kekeliruannya.
2. Tidak boleh hadits dha’if jadi pokok, tetapi dia harus berada di bawah nash yang sudah shahih.
3. Tidak boleh hadits itu dimasyhurkan, yang akan berakibat orang menyandarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apa-apa yang tidak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan.”
Imam as-Sakhawi berkata: “Syarat-syarat kedua dan ketiga dari Ibnu Abdis Salam dan dari shahabatnya Ibnu Daqiqiil ‘Ied.” Imam ‘Alaiy berkata: “Syarat pertama sudah disepakati oleh para ulama hadits”.




TIDAK BOLEH MENGATAKAN HADITS DHA'IF DENGAN LAFAZH JAZM [LAFAZH YANG MEMASTIKAN ATAU MENETAPKAN]
[a]. Ada (lafazh yang digunakan dalam menyampaikan (meriwayatkan) hadits
menurut pendapat Ibnush Shalah

Apabila orang menyampaikan (meriwayatkan) hadits dha’if, maka tidak boleh anda berkata: “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.”

Atau lafazh jazm yang lain, yakni lafazh yang memastikan atau menetapkan, seperti: "Fa'ala, rawaya, qola".

Boleh membawakan hadits dha’if itu dengan lafazh: “Telah diriwayatkan atau telah sampai kepada kami be-gini dan begitu.”

Demikianlah seterusnya hukum hadits-hadits yang masih diragukan tentang shahih dan dha’ifnya. Tidak boleh kita berkata atau menulis: “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

[b]. Pendapat Imam an-Nawawi rahimahullah
Telah berkata para ulama ahli tahqiq dari pakar-pakar hadits, “Apabila hadits-hadits itu dha’if tidak boleh kita katakan:

“Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” atau:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengerjakan,” atau:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan,” atau:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang,” atau:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghukum.”

Dan lafazh-lafazh lain dari jenis lafazh jazm (pasti atau menetapkan).

Tidak boleh juga mengatakan:
“Telah meriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.” atau:
“Telah menyebutkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.”

Dan yang seperti itu dari shighat-shighat (bentuk-bentuk) jazm. Tidak boleh juga menyebutkan riwayat yang lemah dari tabi’in dan orang-orang yang sesudahnya dengan shighat-shighat jazm.

Seharusnya kita mengatakan hadits atau riwayat lemah dan hadits atau riwayat yang tidak kita ketahui derajat-nya dengan perkataan:

"Telah diriwayatkan.
"Telah dinukil darinya.
"Telah disebutkan.
"Telah diceritakan.

Dan yang seperti itu disebut shighat tamridh (bentuk lafazh yang berarti ada penyakitnya), dan tidak boleh dengan shighat jazm.

PERKATAAN PARA ULAMA AHLI HADITS
Shighat jazm seperti: "qola, rawaya"َ dan lainnya hanya digunakan untuk hadits-hadits shahih dan hasan saja. Sedangkan shighat-shighat tamridh, seperti: "ruwiya", atau "dukira"َ dan lainnya digunakan selain itu. Karena shighat jazm berarti menun-jukkan akan sahnya suatu khabar (berita) yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebab itu tidak boleh dimutlakkan.

Jadi, bila ada ulama yang masih menggunakan shighat (lafazh) jazm untuk berita yang belum jelas, berarti ia telah berdusta atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Adab meriwayatkan ini banyak dilanggar oleh para penulis kitab-kitab fiqh dan juga jumhur Fuqahaa’ dari madzhab Syafi’i, bahkan dilanggar pula oleh jumhur ahli ilmu, kecuali sebagian kecil dari ahli ilmu dari para Ahli Hadits yang mahir.

Perbuatan tasaahul (menggampang-gampangkan) dalam masalah yang hadits merupakan perbuatan yang jelek. Kebanyakan dari mereka menyebutkan hadits shahih dengan shighat tamridh:

“Diriwayatkan darinya.”

Sedangkan dalam menyebutkan hadits dha’if, maka mereka menyebutkan dengan shighat yang jazm: "rawaya fulanun" atau qola".

Hal ini sebenarnya telah menyimpang dari kebenaran yang telah disepakati oleh Ahli Hadits. [Lihat al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzhab, oleh Imam an-Nawawi (I/63), cet. Daarul Fikr.]

WAJIB MENJELASKAN HADITS-HADITS DHAI'F KEPADA UMAT ISLAM
[a]. Perkataan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany rahimahullah
Ada yang perlu saya tambahkan dari perkataan Imam an-Nawawy di atas tentang penggunaan lafazh tamridh:"ruwiya, yuhkay, dzukira" dan yang seperti itu untuk hadits dha’if.

Zaman sekarang ini penggunaan lafazh-lafazh itu tidak-lah mencukupi, karena ummat Islam banyak yang tidak mengetahui hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan tidak faham pula kitab-kitab hadits sehu-bungan dengan masalah itu dan tidak mengerti pula apa maksud perkataan khatib di mimbar mengucapkan: “Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Bahwa yang dimaksud khatib yaitu hadits itu dha’if, sedangkan mereka banyak yang tidak faham. Maka, wa-jib bagi ulama untuk menjelaskan hal yang demikian itu sebagaimana yang disebutkan oleh Atsar dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata:

“Artinya : Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan apa-apa yang mereka ketahui, apakah kamu suka mereka itu dusta atas nama Allah dan Rasul-Nya?!” [HR. Al-Bukhari, Fat-hul Bari (I/225), lihat Shahih Targhib wat Tarhiib (hal. 52), cet. Maktabah al-Ma’arif th. 1421 dan Tamaamul Minnah (hal. 39-40) oleh Syaikh Mu-hammad Nashiruddin al-Albany]

[b]. Perkataan Syaikh Ahmad Muhammad Syakir
Aku berpendapat (sekarang ini) wajib menerangkan hadits-hadits yang dha’if di dalam setiap keadaan (dan setiap waktu), karena bila tidak diterangkan kepada ummat Islam tentang hadits-hadits dha’if, maka orang yang mem-baca kitab (atau mendengarkan) akan menyangka bahwa hadits itu shahih, lebih-lebih bila yang menukilnya atau menyampaikannya itu dari kalangan ulama Ahli Hadits. Hal tersebut karena ummat Islam yang awam menjadikan kitab dan ucapan ulama itu sebagai pegangan bagi mereka. Kita wajib menerangkan hadits-hadits dha’if dan tidak boleh mengamalkannya baik dalam ahkam maupun dalam masalah fadhaa-ilul a’maal dan lain-lainnya. Tidak boleh bagi siapa pun berhujjah (berdalil) melainkan dengan apa-apa yang sah dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dari hadits-hadits shahih atau hasan. [Lihat al-Ba’itsul Hadits Syarah Ikhtishar ‘Uluumil Hadits oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir (hal. 76), cet. Maktabah Daarut Turats th. 1399 H atau I/278, ta’liq: Syaikh Imam al-Albany cet. I Daarul ‘Ashimah th. 1415 H]

AKIBAT TASAAHUL DALAM MERIWAYATKAN HADITS DHAIF
Tasaahul (bermudah-mudah)nya para ulama, ustadz, kyai, dalam menulis dan menyampaikan hadits dha’if tanpa disertai keterangan tentang kelemahannya merupakan faktor penyebab yang terkuat yang mendorong ummat Islam melakukan bid’ah-bid’ah di dalam agama dan ke-banyakan dalam masalah-masalah ibadah. Umumnya ummat Islam menjadikan pokok pegangan mereka dalam masalah ibadah dari hadits-hadits lemah dan bathil bahkan maudhu’ (palsu), seperti melaksanakan shalat dan puasa Raghaa-ib di awal bulan Rajab, malam pertengahan (nisfu Sya’ban), berpuasa di siang harinya, mengadakan perayaan maulud Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Diba’an, baca Barzanji, Yasinan, malam Isra’ Mi’raj dan lain-lain. Akibat tasaahul-nya para ulama, ustadz dan kyai, maka banyak dari ummat Islam yang masih mempertahankan bid’ah-bid’ah itu dan menghidup-hidupkannya. Berarti ada dua bahaya besar yang akan menimpa ummat Islam dengan membawakan hadits-hadits dha’if:

Pertama.
Terkena ancaman berdusta atas nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, diancam masuk Neraka.

Kedua
Timbulnya bid’ah yang berakibat sesat dan di-ancam masuk Neraka, na’udzubillah min dzaalik.

"Tiap-tiap bid’ah itu sesat dan tiap-tiap kesesatan di Neraka.” [Hadits shahih riwayat an-Nasa-i (III/189), lihat Shahih Sunan Nasa-i (I/346 no. 1487) dan Misykatul Mashaabih (I/51)]

KHATIMAH
Mudah-mudahan kita terpelihara dari berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dari me-lakukan bid’ah yang telah membuat ummat mundur, terbelakang, berpecah belah dan jauh dari petunjuk al-Qur-an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih. Keadaan seperti merupakan kendala bangkitnya ummat Islam.

Wallaahu a’laam bish Shawaab.

[Disalin dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]


dan dikutif dari blog yayi haidar aqua
Newest
Previous
Next Post »